Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak untuk mengusut delapan korporasi swasta dalam kasus dugaan korupsi impor gula kristal mentah periode 2015–2016 yang melibatkan tersangka Tom Lembong.

Ketua Masyarakat Hukum dan Kriminologi (Mahupiki) Firman Wijaya dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa, menilai bahwa pada kasus impor gula ini, terdapat pola kejahatan dalam hubungan antara kebijakan impor gula kristal mentah yang dikeluarkan oleh tersangka Tom Lembong dengan perusahaan swasta yang terlibat.

"Korupsi itu terjadi karena pola high collar crime sebagai pengembangan konsep white collar crime, di mana relasi kejahatan ini terjadi karena posisi strategis dalam pengambilan keputusan birokrasi yang memberi business privilege tertentu kepada korporasi besar," ucapnya.

Maka dari itu, ia mendesak penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung untuk terus mengembangkan perkara tersebut hingga menyentuh korporasi swasta yang terlibat.

"Jadi, sebaiknya korporasi-korporasi yang jadi pengimpor akibat kebijakan impor gula yang diputuskan oleh mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, perlu segera diperiksa dalam rangka pertanggungjawaban pidana dan recovery atas kerugian negara," ujarnya.

Di sisi lain, advokat senior itu meyakini penyidik Kejagung telah bekerja secara profesional dan transparan dalam menangani perkara ini. Menurutnya, proses penyidikan Tom Lembong sebagai tersangka sudah sesuai jalur yang tepat atau on the track.

Diketahui, Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Dalam keterangannya, Kejagung menuturkan bahwa kasus ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015–2016 memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antar-kementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.

Kejagung menyebut, persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.

Pada 28 Desember 2015, dalam rakor bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian, dibahas bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.

Pertemuan itu untuk membahas kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.

Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.

Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Kejagung mengatakan bahwa dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, seharusnya yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.

Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.

Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI. Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.

Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.

Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.