Bagikan:

JAKARTA - Pengadilan Arbitrase Wilayah Moskow baru saja mengeluarkan keputusan yang memerintahkan pembekuan aset senilai 372 juta Dolar AS (setara Rp5,8 triliun) yang dimiliki oleh dua raksasa keuangan Amerika Serikat, JPMorgan Chase dan BNY Mellon. Keputusan ini lahir dari sengketa panjang mengenai dana tunai yang tersimpan di cabang-cabang bank tersebut di Rusia, yang kini menarik perhatian seluruh dunia.

Langkah ini dipandang sebagai respons keras Rusia terhadap tindakan yang diambil oleh Bank Nasional Ukraina yang mencabut izin operasi MR Bank, anak perusahaan Sberbank Rusia. Pihak Rusia menuduh bahwa JPMorgan Chase dan BNY Mellon telah menyita aset MR Bank secara ilegal, yang memicu eskalasi perselisihan hingga ke meja hijau.

Dilansir dari Cointurk, Wakil Jaksa Agung Rusia mengajukan permintaan ke pengadilan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan Federasi Rusia. Menurutnya, dana sebesar 121 juta Dolar AS di JPMorgan Chase dan 251 juta Dolar AS di BNY Mellon adalah milik Sberbank, salah satu bank terbesar di Rusia. Wakil Jaksa Agung menegaskan, langkah ini diambil untuk memastikan bahwa aset-aset penting milik negara tetap terlindungi di tengah situasi geopolitik yang memanas.

Keputusan ini juga berakar pada situasi internasional yang kompleks, di mana pemerintah Amerika Serikat sebelumnya telah membekukan 300 miliar Dolar AS cadangan Bank Sentral Rusia sebagai sanksi atas invasi Rusia ke Ukraina. Tindakan ini menjadi bagian dari paket sanksi ekonomi yang lebih luas yang mencakup pembatasan pada institusi keuangan besar Rusia, termasuk Sberbank dan VTB.

Dengan keputusan terbaru ini, ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat semakin meningkat. Sanksi yang diberlakukan oleh AS telah menimbulkan berbagai reaksi dari pemerintah Rusia, yang mencoba melindungi kepentingan ekonominya di tengah tekanan internasional.

Hingga saat ini, baik JPMorgan Chase maupun BNY Mellon belum memberikan pernyataan resmi mengenai keputusan pengadilan Rusia. Bagaimana kedua bank ini akan menanggapi tindakan hukum ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar dan analis keuangan global, mengingat potensinya untuk memperburuk hubungan diplomatik dan perbankan internasional.