Bagikan:

JAKARTA - Harga Bitcoin (BTC) saat ini berada dalam ketidakpastian jangka menengah, terutama setelah sinyal dari bursa kripto yang sudah tidak beroperasi, Mt. Gox, akan segera mendistribusikan sekitar 2,8 miliar Dolar AS (sekitar Rp42 triliun) kepada para kreditornya. Mt. Gox, yang pada masa jayanya pernah menjadi bursa kripto terbesar di dunia sebelum bangkrut pada 2014, masih memegang lebih dari 44.800 BTC yang akan didistribusikan sesuai dengan rencana rehabilitasi mereka.

Menurut informasi Coinspeaker, baru-baru ini, alamat Bitcoin terkait dengan Mt. Gox melakukan beberapa transaksi yang mengindikasikan bahwa pembayaran kepada kreditor mungkin segera dilanjutkan. Sebelumnya, distribusi dana dari Mt. Gox kerap memicu sentimen negatif di pasar kripto. Contohnya, pada distribusi sebelumnya, harga Bitcoin turun drastis dari lebih dari 64.000 Dolar AS menjadi sekitar 53.000 Dolar AS hanya dalam dua minggu.

Situasi ini membuat banyak investor khawatir bahwa distribusi dana berikutnya bisa memicu aksi jual besar-besaran, terutama karena Bitcoin saat ini menghadapi zona resistensi kuat antara 64.000 Dolar AS hingga 65.000 Dolar AS. Penurunan harga Bitcoin juga didorong oleh lambatnya akumulasi BTC oleh investor besar, seperti penerbit Exchange Traded Fund (ETF) Bitcoin di Amerika Serikat.

Meski demikian, ada beberapa faktor yang bisa mengimbangi dampak negatif distribusi dana Mt. Gox. Salah satunya adalah potensi distribusi dana dari FTX dan Alameda Research, yang diperkirakan mencapai sekitar 16 miliar Dolar AS (sekitar Rp242 triliun) dalam bentuk stablecoin. Dana ini diperkirakan dapat meningkatkan tekanan beli di pasar kripto.

Dari data historis, kuartal keempat setelah terjadinya halving Bitcoin biasanya cenderung bullish, di mana banyak investor mengantisipasi kenaikan harga secara signifikan. Selain itu, tren kenaikan harga emas yang mencapai rekor tertinggi baru-baru ini dianggap sebagai sinyal serupa bagi Bitcoin, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai "emas digital".

Di tengah potensi bullish ini, adopsi aset digital masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan masalah keamanan. Banyaknya kasus peretasan bursa kripto menjadi penghalang utama bagi adopsi luas. Salah satu contoh terbaru adalah peretasan yang menimpa WazirX, bursa kripto asal India, yang kehilangan lebih dari 230 juta Dolar AS (sekitar Rp3,4 triliun) dalam serangan siber. Sebagian besar dana ini dilaporkan telah dicuci melalui Tornado Cash, sebuah layanan mixer kripto.

Indonesia pun tak lepas dari serangan siber, dengan bursa kripto Indodax kehilangan lebih dari 20 juta Dolar AS (sekitar Rp303 miliar) dari dana pengguna akibat serangan sistem. Kejadian-kejadian ini menyoroti kelemahan keamanan pada bursa terpusat dan menimbulkan kekhawatiran bagi pengguna.