Bagikan:

JAKARTA - Pavel Durov, pendiri dan CEO aplikasi pesan instan Telegram, resmi didakwa oleh seorang hakim Prancis dalam penyelidikan terkait kejahatan terorganisir yang diduga terjadi melalui platform tersebut. Meski demikian, Durov dibebaskan dengan jaminan setelah membayar 5 juta euro (Rp85,4 miliar) dan diwajibkan melapor dua kali seminggu kepada polisi serta dilarang meninggalkan wilayah Prancis.

Penuntut umum Paris, Laure Beccuau, menyatakan bahwa hakim menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan terhadap Durov atas semua tuduhan yang menyebabkan penangkapannya empat hari lalu. Tuduhan tersebut termasuk dugaan keterlibatan dalam penyediaan platform untuk transaksi ilegal, distribusi gambar pelecehan anak, perdagangan narkoba, penipuan, penolakan memberikan informasi kepada pihak berwenang, pencucian uang, dan penyediaan layanan enkripsi kepada pelaku kejahatan.

Meski didakwa secara resmi, status ini tidak otomatis berarti Durov bersalah atau akan disidangkan. Penyelidikan ini bisa memakan waktu bertahun-tahun sebelum diputuskan untuk dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan.

Penangkapan Durov di bandara dekat Paris pada Sabtu malam 24 Agustus telah memicu perdebatan tentang batas antara kebebasan berbicara dan penegakan hukum. Kasus ini juga menyoroti hubungan yang rumit antara pemerintah dan Telegram, yang saat ini memiliki hampir 1 miliar pengguna, serta menjadi peringatan bagi perusahaan teknologi lain yang menolak bekerja sama dengan pihak berwenang terkait dugaan ilegalitas di platform mereka.

Telegram sejauh ini tidak banyak berkomentar mengenai penangkapan Durov. Dalam sebuah pernyataan pada Senin, 26 Agustus,  perusahaan menyatakan bahwa mereka mematuhi hukum Uni Eropa dan bahwa moderasi di platform mereka berada dalam "standar industri dan terus ditingkatkan." Telegram juga menegaskan bahwa Durov "tidak memiliki apa pun untuk disembunyikan dan sering bepergian di Eropa."

Penangkapan Durov juga memiliki dampak diplomatik besar, memperburuk hubungan antara Paris dan Moskow. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menyatakan bahwa hubungan kedua negara telah mencapai titik terendah. Kremlin menyatakan siap memberikan bantuan kepada Durov, namun kewarganegaraan ganda Durov (Rusia dan Prancis) mempersulit situasi ini.

Telegram telah menjadi platform penting dalam komunikasi medan perang selama perang di Ukraina dan digunakan oleh pemerintah serta tentara dari kedua belah pihak untuk menyebarkan berita dan propaganda. Sementara Telegram memposisikan diri sebagai tempat berlindung untuk kebebasan berbicara, platform ini juga banyak digunakan oleh gerakan sayap kanan, anti-vaksin, konspirasi, serta kelompok oposisi politik.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang dikenal sebagai pengguna aktif Telegram, menegaskan bahwa penangkapan Durov bukan keputusan politik dan bahwa Prancis mendukung kebebasan berbicara yang sah.