JAKARTA – Kehadiran Starlink di Indonesia masih menjadi perdebatan, baik karena urgensi maupun legalitas. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria pun memberikan penjelasan terkait isu Starlink.
Di forum diskusi Sea Peace Lab, program dari Universitas Paramadina, Nezar mengatakan bahwa jaringan di seluruh Indonesia mengandalkan fiber optik selama ini. Fiber optik adalah saluran transmisi sinyal cahaya melalui kabel.
Sinyal ini berjalan dengan baik, tetapi hanya di beberapa wilayah. Masih ada daerah yang belum bisa terjangkau sehingga dibutuhkan jaringan yang lebih canggih dan bebas dari hambatan. Maka dari itu, Starlink diizinkan beroperasi di Indonesia.
"Anda tahu semua bahwa fiber optik menghubungkan nusantara ini, dari barat sampai dengan timur, tapi ada beberapa celah yang belum bisa terjangkau oleh fiber optik. Karena itu, dibutuhkan satu sistem koneksi yang lain," jelas Nezar.
Starlink merupakan satelit milik SpaceX yang diluncurkan ke ruang angkasa dan ditempatkan ke Orbit Rendah Bumi (LEO). Nezar menjelaskan bahwa LEO merupakan lokasi yang sangat menjanjikan karena memiliki latensi paling rendah.
Meski jaringan dari Starlink sangat kuat karena mengandalkan lebih dari 5.000 jaringan satelit di orbit, Nezar menekankan bahwa Starlink hanya menjadi pelengkap dari jaringan koneksi yang kurang, khususnya di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
BACA JUGA:
Permasalahan Keamanan Starlink
Elon Musk, pemilik SpaceX, sudah mengesahkan operasi Starlink pada 19 Mei lalu dan jaringan satelit ini sudah legal di seluruh wilayah Indonesia. Setelah disahkan, muncul kekhawatiran dari segi keamanan hukum dan pertahanan.
Nezar menyadari bahwa banyak pihak yang meragukan legalitas Starlink. Namun, ia menegaskan bahwa Starlink sudah memenuhi seluruh izin yang diperlukan, mulai dari entitas usaha hingga ketentuan wajib pajak.
Sementara itu, mengenai masalah pertahanan, Nezar mengatakan bahwa ancaman negara bukan hanya Starlink. Pasalnya, berbagai negara sudah memiliki satelit militer saat ini dan semua satelit tersebut bisa menjadi ancaman kapan pun.
"Ada perusahaan China, Amerika, Eropa, dan beberapa negara (lainnya). Satelit-satelit militernya banyak di atas sana yang kita enggak tahu meluncurnya kapan," ujar Nezar.