JAKARTA – Siklus air di dunia saat ini sedang tidak stabil sehingga banyak wilayah yang mengalami kekeringan. Rupanya, dinamika siklus air ini berkaitan erat dengan perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa variabilitas iklim sangat berpengaruh pada sumber daya air. Oleh karena itu, perubahan iklim akan menjadi salah satu topik yang dibahas di 10th World Water Forum (WWF).
"Siklus air dan interaksinya dengan masyarakat akan mengakibatkan bervariasinya pola spatio-temporal. Spatio dalam konteks ruang, temporal dalam konteks waktu. Jadi, dampak dari variasi dan perubahan iklim ini akan berdampak pada variasi pola spatio-temporal ketersediaan sumber daya air," ungkap Dwikorita dalam Konferensi Pers FMB9 pada Senin, 1 April.
Berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (MWO), rata-rata suhu tahun lalu telah meningkat sebesar 1,45 derajat celcius. Padahal, di tahun 2022, peningkatan suhu hanya meningkat sebesar 1,2 derajat celcius. Ini menunjukkan adanya peningkatan besar hanya dalam setahun.
Jika melihat pada tingkat kenaikan suhu di sepanjang tahun lalu, bulan Juni hingga Desember selalu menghasilkan rekor panas yang baru. Namun, puncak kenaikan suhunya terjadi pada Juli dan Augustus. Dua bulan ini mencetak suhu terpanas yang pernah tercatat.
BACA JUGA:
Dwikorita menjelaskan bahwa peningkatan suhu ini berkaitan erat dengan kegiatan industri yang terus meningkat. Semakin ekstrem gas rumah kaca yang dihasilkan, intensitas suhunya akan menguat dan durasinya akan semakin panjang.
"Jadi, gas-gas rumah kaca itu antara lain CO2, itu yang berperan menaikkan suhu karena gas-gas itu menjadi selubung di atmosfer yang menghambat pelepasan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi untuk kembali ke angkasa luar," jelas Dwikorita.
Jika perubahan iklim tidak diatasi, sumber daya air di beberapa negara atau wilayah akan mendapatkan tekanan. Hal ini akan menyebabkan kekeringan, kelangkaan air, dan kelebihan air di beberapa tempat yang diproyeksikan terjadi di tahun 2050.
Saat masalah ini terjadi, pihak pertama yang akan terdampak adalah para petani kecil di seluruh dunia. "Organisasi Agrikultur Pangan dunia menyatakan lebih dari 500 juta petani skala kecil yang menghasilkan 80 persen sumber pangan dunia merupakan kelompok yang paling rentan."
Untuk mengatasi perubahan iklim yang berdampak langsung pada sektor pertanian, Dwikorita menekankan pentingnya penyelenggaraan WWF ke-10. Acara besar ini akan membahas masalah perubahan iklim yang berkaitan erat dengan sumber daya air.
"Ini menekankan perlunya mitigasi dan adaptasi secara sistematis terhadap isu-isu terkait air," kata Dwikorita. "Kita harus berkolaborasi karena menyediakan data itu tidak mudah. Berkolaborasi, saling bertukar data dan informasi untuk dapat mengantisipasi secara lebih dini dengan adanya data sebelum tahun 2050."
Dwikorita menambahkan bahwa WWF ke-10 akan menjadi salah satu upaya dalam mengatasi gap atau permasalahan air di dunia dengan langkah yang konkret. Forum ini akan, "mengatasi persoalan secara bersama-sama."