Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan pangan menjadi salah satu sektor terdampak perubahan iklim global.

"Jadi isunya selain kenaikan muka air laut, lahan yang semakin sempit, pangan pun semakin berkurang," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam acara 'Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045' di Jakarta, Senin 21 Agustus, disitat Antara.

Ia mengungkapkan, pada tahun 2050 diprediksi dunia mengalami peningkatan kerentanan pada stok pangan, termasuk Indonesia.

"Dan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) memprediksi lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim," tuturnya.

Ia menambahkan, kerentanan pangan itu tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air.

"Tidak peduli negara maju atau berkembang, krisis air ini kaitannya dengan ketahanan pangan," tuturnya.

Di Indonesia, kata dia, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun.

"Dampaknya ke tren curah hujan, jadi frekuensi kejadian ekstrem semakin sering dengan intensitas tinggi," tuturnya.

Ia mengatakan saat ini kenaikannya mencapai 1,2 derajat Celsius, lebih tinggi dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

"Kejadiannya ekstrem semakin ekstrem. Kalau tidak ada mitigasi, kenaikannya bisa mencapai 3,5 derajat Celsius. Berarti berapa kali lipat dari sekarang, kondisi ekstrem mungkin sudah menjadi kenormalan baru," ucapnya.

Ia mengatakan apabila tidak dilakukan mitigasi, kenaikan suhu akan berdampak besar pada seluruh pulau-pulau besar di Tanah Air.

Dalam kesempatan sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan pada sektor pertanian, perubahan iklim akan menyebabkan singkatnya periode ulang variasi iklim, salah satunya siklus El Nino yang harusnya terjadi 3-7 tahun menjadi 2-5 tahun.

"BMKG telah memberi imbauan fenomena El Nino ini akan cukup panjang hingga akhir Desember, dan perlu mitigasi terhadap kelangkaan air, karhutla, serta, menurunnya produktivitas pangan," katanya.

Perubahan iklim, lanjutnya, juga menyulitkan waktu tanam karena pergeseran awal hujan.

Ia mengemukakan strategi pembangunan berketahanan iklim pada sektor pertanian yakni penerapan smart agriculture, pengembangan kualitas dan daya saing SDM lokal, penguatan System Rice Intensification (SRI), penerapan pertanian adaptif dan rendah karbon, dan modernisasi perbenihan varietas baru adaptif kekeringan.

"Arah kebijakan ini menjadi pedoman pembangunan infrastruktur dan kewilayahan," tandasnya.