Bank Dunia: 100 Juta Orang Jatuh Miskin karena COVID-19
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Bank Dunia (World Bank) David Malpass menyatakan bahwa pandemi virus corona atau COVID-19 membuat sebanyak 100 juta orang jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Krisis karena pandemi ini menurutnya, lebih buruk dibanding krisis keuangan pada tahun 2008 lalu.

"Masalah langsungnya adalah kemiskinan. Ada orang-orang di ambang jurang. Meski kami telah membuat kemajuan dalam 20 tahun terakhir, namun kali ini terjadi risiko krisis ekonomi di mana orang-orang kembali jatuh ke dalam kemiskinan yang parah," ungkap Malpass dikutip dari The Guardian, Jumat 21 Agustus.

Malpass menambahkan, saat krisis akibat pandemi COVID-19 melanda, ketimpangan antarnegara menjadi sangat terlihat. Ia mencontohkan, stimulus di negara-negara maju ditujukan kepada negara-negara maju, hingga akhirnya negara berkembang mengalami resesi yang lebih parah dibanding negara maju.

Masalah utang pun semakin meningkat. Pasalnya, sementara produk domestik bruto (PDB) negara-negara miskin turun, tetapi jumlah utang justru semakin bertambah.

Sementara itu Malpass mengatakan, Bank Dunia telah memobilisasi 160 miliar dolar AS untuk pinjaman dan hibah guna meringankan tekanan langsung pada sistem kesehatan, peningkatan jumlah anak yang putus sekolah, hilangnya pendapatan bagi mereka yang bekerja informal, dan ancaman kelaparan.

"Biaya itu untuk meningkatkan infrastruktur negara berkembang, meningkatkan sistem kesehatan dan pendidikan, dan menyapih negara-negara miskin dari bahan bakar fosil," jelas Malpass.

Resesi, lanjut Malpass, telah berubah menjadi depresi bagi beberapa negara. Malpass juga mengatakan bahwa tingkat kelaparan di dunia saat ini sangat memprihatinkan. Ia mencatat, selalu ada ancaman terhadap ketahanan pangan seiring berjalannya tahun.

"Meskipun tidak ada masalah soal kekurangan pangan, namun sekarang situasi kelaparan semakin memprihatinkan," tuturnya.

Di sisi lain, Malpass mengatakan, krisis karena pandemi ini juga menyebabkan "tragedi besar" di negara miskin yang anak-anaknya tidak bisa bersekolah. Dengan situasi tersebut, menurutnya, dapat menimbulkan efek kepada gadis-gadis muda yang berisiko tinggi untuk menikah di usia muda.