JAKARTA - Ripple Labs, perusahaan di balik aset kripto XRP, telah mengumumkan rencananya untuk melakukan sekitar 80% perekrutan di luar Amerika Serikat. Keputusan ini muncul ketika Ripple harus menghadapi Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) dalam perseteruan hukum terbarunya.
Chief Executive Officer Ripple, Brad Garlinghouse, mengungkapkan dalam wawancara dengan Bloomberg Television bahwa di berbagai yurisdiksi seperti Hong Kong, Singapura, Inggris, dan Dubai, pemerintah telah menjalin kemitraan dengan industri kripto. Mereka memberikan aturan yang jelas dan mendukung pertumbuhan industri ini.
Pernyataan ini diberikan oleh Garlinghouse saat sebuah konferensi kripto sedang berlangsung di Singapura. Meskipun pengadilan telah mendukung Ripple dengan mengklasifikasikan XRP sebagai aset non-sekuritas, SEC AS masih belum mengakui klasifikasi ini.
BACA JUGA:
Di bawah kepemimpinan Gary Gensler, SEC telah mengambil sikap keras terhadap aset digital. Gensler berpendapat bahwa sebagian besar token kripto seharusnya dianggap sebagai sekuritas dan harus tunduk pada pengawasan regulasi. Sementara itu, kemajuan dalam pembuatan undang-undang kripto di Kongres Amerika Serikat berjalan dengan lamban.
Informasi terbaru, dalam perkembangan gugatan antara Ripple dan SEC, Ripple menentang permintaan SEC untuk mengajukan banding atas keputusan pengadilan yang mengklasifikasikan XRP sebagai aset non-sekuritas saat dijual ke publik. SEC memulai tindakan hukum terhadap Ripple pada tahun 2020 dengan tuduhan bahwa perusahaan gagal mendaftarkan XRP sebagai sekuritas.
Ripple tetap optimis dalam kasus ini meskipun telah mengeluarkan lebih dari 100 juta (Rp1,5 triliun) untuk biaya hukum. Garlinghouse menyatakan keyakinannya bahwa mereka akan memenangkan kasus ini, mengingat dukungan tak terbatas dari pemerintah dan berbagai pihak untuk Ripple.