JAKARTA - Menurut laporan yang muncul di Bloomberg pada 5 Mei, Binance sedang diselidiki oleh divisi keamanan nasional Departemen Kehakiman AS karena membiarkan orang Rusia menggunakan bursa cryptocurrency itu dengan melanggar sanksi AS. Tidak ada tuduhan terhadap perusahaan atau eksekutifnya terkait penyelidikan ini.
Menurut Bloomberg, penyelidikan keamanan nasional dilakukan bersamaan dengan penyelidikan divisi kriminal, mengutip lima sumber yang tidak disebutkan namanya. Binance menjadi sasaran beberapa penyelidikan di Amerika Serikat, termasuk penyelidikan DOJ terhadap pelanggaran Anti-Money Laundering (AML).
Binance membatasi layanan kepada Rusia setelah sanksi diberlakukan pada bulan April 2022. Namun, bursa tersebut tetap beroperasi di sana, hanya memblokir wilayah Ukraina yang tidak lagi berada di bawah kendali pemerintah dan melayani individu yang tidak terkena sanksi, menurut seorang eksekutif perusahaan dikutip Cointelegraph.
Binance juga dituduh melakukan pelanggaran Know Your Customer (KYC) dan AML dalam gugatan yang diajukan oleh Komisi Perdagangan Komoditas dan Futures AS pada bulan Maret.
BACA JUGA:
Perusahaan tersebut tidak segera menjawab permintaan tanggapan dari media, tetapi mengatakan kepada Bloomberg dalam sebuah pernyataan bahwa mereka sudah mematuhi sanksi AS dan internasional, dan protokol KYC-nya sejalan dengan protokol perbankan tradisional. Setiap pelanggan tunduk pada pemeriksaan identitas dan tempat tinggal, katanya. Selain itu:
"Kebijakan kami memberlakukan pendekatan nol toleransi terhadap registrasi ganda, identitas anonim, dan sumber uang yang tidak jelas," ungkap Binance.
Selain itu, menurut Bloomberg, Binance "telah dalam pembicaraan" dengan DOJ tentang keluhan bahwa itu telah melanggar versi sebelumnya dari sanksi terhadap Iran.
Binance bukan satu-satunya bursa kripto yang menghadapi pemeriksaan pelanggaran sanksi. Poloniex membayar penyelesaian sebesar 7,6 juta dolar AS (Rp111,7 miliar) kepada Kantor Pengendalian Aset Asing Departemen Keuangan AS karena melanggar sanksi terhadap Crimea, Kuba, Iran, Sudan, dan Suriah, menurut pengumuman pada 1 Mei.