Bagikan:

JAKARTA - Secara mengejutkan astronom berhasil menangkap sebuah bintang mirip Matahari yang melahap seluruh planet. Berjarak 12.000 tahun cahaya dari Bumi, ia juga menelan raksasa gas panas seukuran Jupiter.

Para ilmuwan telah lama mengetahui bintang-bintang yang lebih tua dan seiring bertambahnya usia, pada akhirnya akan menelan planet-planet dalam yang mengorbit.

Bintang itu pertama kali terlihat oleh Zwicky Transient Facility (ZTF), dijalankan di Palomar Observatory Caltech di California, Amerika Serikat (AS). Bertugas memindai langit setiap malam untuk bintang-bintang yang kecerahannya berubah dengan cepat, yang polanya bisa menjadi tanda supernova, semburan sinar gamma, dan fenomena bintang lainnya.

Tak ayal, ia dijuluki bintang ZTF SLRN-2020. Pengamatan ZTF menunjukkan bintang tersebut menjadi cerah dan mulai memudar dalam waktu sekitar satu minggu.

Penulis utama studi baru tentang temuan itu, Kishalay De pada awalnya mengira bintang variabel ini mungkin dihasilkan dari ledakan nova, terjadi ketika bintang mati yang disebut katai putih mencuri materi dari bintang pendampingnya.

​​“Kami sedang melihat tahap akhir dari proses menelan,” ujar De, dikutip dari rilis resmi, Kamis, 4 Mei.

Namun, pengamatan lebih lanjut dengan Observatorium WM Keck di atas Maunakea di Hawaii mengungkapkan sesuatu yang lain sedang terjadi. Teleskop Keck melakukan pengukuran spektroskopi cahaya bintang, yang dapat digunakan para ilmuwan untuk membedakan komposisi kimia bintang.

Tapi apa yang De temukan semakin membingungkan. Sementara sebagian besar binari mengeluarkan materi bintang seperti hidrogen dan helium saat satu bintang mengikis bintang lainnya, sumber baru tidak melepaskan keduanya. Sebaliknya, apa yang De lihat adalah tanda-tanda molekul aneh yang hanya bisa ada pada suhu yang sangat dingin.

“Molekul-molekul ini hanya terlihat di bintang yang sangat dingin. Dan ketika sebuah bintang bersinar, biasanya menjadi lebih panas. Jadi, suhu rendah dan bintang yang terang tidak bisa berjalan bersamaan. Kebetulan yang menyenangkan,” kata De.

De dan rekan-rekannya kemudian memperoleh data inframerah dari kamera di Palomar's Hale Telescope yang disebut Wide-field Infrared Camera (WIRC).

Pengamatan itu, menunjukkan bintang tersebut semakin terang dari waktu ke waktu tidak hanya dalam cahaya optik seperti yang diamati ZTF tetapi juga dalam cahaya inframerah, yang menunjukkan adanya debu.

Salah satu sumber mencerahkan dengan faktor 100 selama seminggu, tetapi juga menghasilkan molekul yang hanya ada pada suhu dingin. Artinya, sumbernya tidak mungkin berupa sistem biner, di mana dua bintang mengorbit dan saling memakan.

Data ini menunjukkan bahwa bintang tersebut mungkin bergabung dengan bintang lain daripada menjadi terang akibat ledakan supernova.

"Suhu rendah dan bintang yang cerah tidak bisa berjalan bersamaan," ucap De.

Para ilmuwan kemudian beralih ke teleskop luar angkasa NEOWISE NASA untuk mencari lebih banyak petunjuk. Dari data yang dikumpulkan, mereka memperkirakan jumlah total energi yang dilepaskan oleh bintang tersebut sejak ledakan awalnya, dan ternyata sangat kecil, sekitar 1/1.000 besarnya penggabungan bintang yang diamati di masa lalu.

“Artinya, apapun yang bergabung dengan bintang harus 1.000 kali lebih kecil daripada bintang lain yang pernah kita lihat. Dan merupakan kebetulan yang menggembirakan bahwa massa Jupiter adalah sekitar 1/1.000 massa matahari. Saat itulah kami menyadari: Ini adalah sebuah planet, menabrak bintangnya,” jelas De.

Dengan potongan-potongan di tempatnya, para ilmuwan akhirnya bisa menjelaskan ledakan awal. Kilatan panas yang terang kemungkinan merupakan saat-saat terakhir dari sebuah planet seukuran Jupiter yang ditarik ke atmosfer balon bintang yang sekarat.

Saat planet jatuh ke dalam inti bintang, lapisan luar bintang meledak, mengendap sebagai debu dingin selama setahun ke depan.

“Selama beberapa dekade, kami dapat melihat sebelum dan sesudahnya. Sebelumnya, saat planet-planet masih mengorbit sangat dekat dengan bintangnya, dan setelahnya, saat sebuah planet telah ditelan, dan bintangnya berukuran raksasa," tutur De.

"Apa yang kami lewatkan adalah menangkap bintang saat beraksi, di mana Anda memiliki planet yang mengalami nasib ini secara waktu nyata. Itulah yang membuat penemuan ini sangat menarik," tambahnya.

Namun, De memperingatkan nasib serupa akan menimpa Bumi, meski tidak untuk 5 miliar tahun lagi, saat Matahari diperkirakan akan habis terbakar, dan membakar planet-planet dalam Tata Surya.

“Kami melihat masa depan Bumi. Jika ada peradaban lain yang mengamati kita dari jarak 10.000 tahun cahaya saat matahari menelan Bumi, mereka akan melihat matahari tiba-tiba menjadi cerah saat mengeluarkan beberapa material, lalu membentuk debu di sekitarnya, sebelum kembali seperti semula,” tutup De.