Bagikan:

JAKARTA - Matahari yang diklaim berusia masih sangat muda belum lama ini melepaskan letusan gas plasma magnetik 10 kali lebih besar. Para ilmuwan menyatakan ledakan ini bisa menjadi sebuah peringatan untuk Bumi.

Menurut para ilmuwan, ledakan itu juga lebih besar dari yang pernah terlihat dari bintang mirip Matahari. Bintang meledak itu dijuluki EK Draconis, hanya berusia sekitar 100 juta tahun, yang berarti terlihat seperti Matahari dan Bumi sekitar 4,5 miliar tahun lalu.

Pemimpin studi Yuta Notsu, dan seorang peneliti di Laboratory for Atmospheric and Space Physics di University of Colorado, dalam temuannya itu menunjukkan Matahari mampu menyemburkan Coronal Mass Ejections (CMEs) atau gelembung gas plasma lebih besar daripada yang diamati secara langsung sejauh ini.

"Namun, karena Matahari lebih tua dari EK Draconis, ia cenderung lebih tenang, dengan CME yang sangat besar terjadi lebih sedikit dan lebih jauh di antara keduanya," ungkap Notsu dalam temuan yang sudah dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy, 9 September lalu.

Notsu menambahkan, dengan memahami batas atas CME itu penting, karena letusan magnetis yang energik ini dapat berinteraksi dengan atmosfer Bumi, serta berpotensi menyebabkan badai geomagnetik yang dapat mengganggu satelit, menyebabkan pemadaman listrik, mengganggu internet dan komunikasi lainnya di Bumi.

Mengutip Live Science, Selasa, 14 Desember, bahkan CME juga merupakan potensi bahaya bagi misi berawak ke Bulan atau Mars. Sebab badai Matahari ini mengirimkan aliran partikel berenergi tinggi yang dapat memaparkan siapa pun di luar perisai magnet pelindung Bumi ke radiasi sebanyak 300.000 X-ray sekaligus. Ini merupakan dosis yang fatal kata NASA.

Sebelumnya, Notsu dan rekan-rekannya melaporkan pada 2019 bahwa bintang mirip Matahari mampu menghasilkan ledakan besar radiasi elektromagnetik yang disebut super flare. Para ilmuwan menemukan bahwa bintang muda seperti Matahari mengeluarkan super flare setiap minggu, sedangkan bintang yang lebih tua seperti Matahari dan Bumi jarang terjadi, mungkin setiap 1.000 tahun atau lebih.

Super flare seperti ini adalah semburan radiasi elektromagnetik yang sebenarnya tidak berbahaya. Tetapi beberapa proporsi super flare yang diikuti oleh CME utama bisa berbahaya. Jadi Notsu dan timnya beralih ke EK Draconis untuk mencari tahu apakah super flare memicu CME besar pada bintang muda seperti Matahari.

Mereka menggunakan Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS) NASA dan Teleskop SEIMEI Universitas Kyoto, para ilmuwan mengintip melalui ruang 111 tahun cahaya untuk mengamati bintang antara Januari dan April 2020.

Pada 5 April, mereka mendapatkan apa yang mereka cari seperti pergeseran dalam spektrum cahaya yang dipancarkan oleh bintang, menunjukkan gumpalan plasma yang bergerak menuju Bumi. Letusan itu melaju dengan kecepatan sekitar 1 juta mph (1,6 juta km/jam) dan memiliki massa lebih dari 2 kuadriliun pon (1 kuadriliun kilogram), 10 kali massa suar Matahari yang diamati.

"Ini sangat membantu untuk memperkirakan kemungkinan CME dengan super flare di Matahari kita," ujar Notsu.

Pengamatan baru EK Draconis hanya menangkap fase pertama CME. Para ilmuwan masih tidak yakin berapa banyak super flare yang berakhir dengan CME dan berapa banyak yang berkurang tanpa ledakan plasma.

"Lebih banyak pengamatan dengan instrumen yang berbeda dapat memberikan gambaran yang lebih besar," kata Notsu.

Mempelajari bintang mirip Matahari di masa mudanya tidak hanya untuk mempersiapkan potensi bencana. Ini juga merupakan jalan untuk mengintip jendela ke masa lalu Tata Surya kita sendiri. Misalnya saja, para ilmuwan percaya bahwa Mars mungkin pernah memiliki atmosfer tebal seperti Bumi.

Salah satu hipotesis pernah menyatakan bahwa ketika Mars kehilangan medan magnetnya, partikel berenergi tinggi dari Matahari mulai terkikis di atmosfer ini, akhirnya membuat planet ini tandus dan tidak terlindungi. Meskipun, sedikit yang diketahui tentang interaksi antara Matahari dan planet-planet di Tata Surya awal, interaksi itu mungkin sangat berbeda dari apa yang diamati hari ini.

"Kami membutuhkan lebih banyak kolaborasi dengan ilmuwan planet untuk memperkirakan efek yang lebih rinci pada planet," tutur Notsu.