Google Merilis Audit Dampak Kebijakan dan Layanan Terhadap Hak Sipil
Google menugaskan sebuah firma hukum independen untuk melakukan tinjauan hak sipil. (foto: twitter @google)

Bagikan:

JAKARTA - Google merilis audit pada Jumat, 3 Maret yang meneliti bagaimana kebijakan dan layanannya memengaruhi hak sipil, dan merekomendasikan langkah-langkah untuk mengatasi misinformasi dan ujaran kebencian, setelah mendapat tekanan dari para advokat untuk melakukan tinjauan seperti itu.

Pengungkapan oleh perusahaan ini dilakukan setelah Washington Post melaporkan pada Jumat sebelumnya bahwa Google menugaskan sebuah firma hukum independen untuk melakukan tinjauan hak sipil. Firma hukum WilmerHale ditugaskan untuk melakukan penilaian.

Audit yang dirilis pada Jumat lalu merekomendasikan bahwa Google, terutama YouTube, meninjau kebijakan kebencian dan pelecehan untuk mengatasi masalah seperti pengidentifikasian atau pemanggilan nama orang yang tidak sesuai atau sengaja salah dan "menyesuaikan diri dengan norma yang berubah terkait kelompok yang dilindungi".

Audit tersebut juga menyatakan bahwa untuk lebih baik menangani misinformasi terkait pemilu, perusahaan harus memastikan bahwa karyawan dengan penguasaan bahasa lebih terlibat dalam tindakan penegakan hukum daripada mengandalkan terjemahan.

Google juga harus mempertimbangkan untuk mengembangkan metrik tambahan untuk melacak kecepatan dan efisiensi dengan mana iklan terkait misinformasi pemilu dihapus, termasuk memberlakukan sanksi yang lebih tinggi dan suspensi permanen dalam kasus pelanggar berulang, tambah audit tersebut.

"Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan, dan itu termasuk upaya untuk memperkuat pendekatan kami terhadap hak sipil dan kemanusiaan. Untuk membantu memandu kami, kami melakukan dan merilis audit hak sipil sukarela atas kebijakan, praktik, dan produk kami," kata Chanelle Hardy, kepala hak sipil di Google, dalam pernyataan yang dikirimkan melalui email pada Jumat.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International telah menuduh perusahaan teknologi besar seperti Google tidak memprioritaskan masalah hak asasi manusia.

"Model bisnis berbasis surveilans perusahaan tersebut secara inheren tidak sesuai dengan hak privasi dan merupakan ancaman bagi sejumlah hak lain termasuk kebebasan pendapat dan ekspresi, kebebasan berpikir, dan hak untuk kesetaraan dan non-diskriminasi," kata Amnesty International dalam laporan 2019 tentang Google dan Facebook.