Bagikan:

JAKARTA - Indonesia akan kembali disuguhi fenomena langit tahunan, hujan meteor Geminid. Sejatinya, ini bisa disaksikan sejak 8 Desember lalu, tetapi puncaknya akan terjadi pada 15 Desember.

Menurut peneliti Peneliti Pusat Riset Antariksa Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang mengatakan hujan meteor Geminid sudah aktif mulai sejak 3 Desember hingga 20 Desember, dengan intensitas maksimum 150 meteor per jam pada 15 Desember.

Fenomena ini dapat disaksikan di seluruh Indonesia dari arah timur laut sejak 8 Desember pukul 20.15 waktu setempat hingga meredup di arah barat laut sebelum Matahari terbit.

Selama periode intensitas maksimum itu, cara terbaik untuk melihat banyak meteor adalah dengan melihat langit saat lokasi pengamatan diarahkan ke titik pancaran hujan meteor, ditemukan di konstelasi Geminid.

Lebih banyak meteor dari hujan Geminid akan terlihat ketika titik pancarannya berada di atas cakrawala, dengan jumlah meteor yang meningkat seiring dengan naiknya titik itu di langit.

Andi menjelaskan, intensitas hujan meteor Geminid di Indonesia hanya 86-107 meteor per jam. Hal ini karena ketinggian titik radian saat transit antara 46 hingga 63 derajat du atas ufuk utara.

Melansir Space, Senin, 12 Desember, hujan meteor terjadi ketika Bumi dalam perjalanan tahunannya mengelilingi Matahari, melewati awan puing yang ditinggalkan oleh komet atau asteroid.

Fragmen-fragmen ini memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan tinggi dan terbakar menciptakan garis-garis cahaya, sesekali bola api terang tercipta oleh bongkahan material berukuran kerikil yang lebih besar.

Hujan meteor Geminid sendiri berasal dari sisa debu asteroid 3200 Phaethon yang dilalui Bumi setiap Desember. Laju geosentriknya mencapai 126.000 km per jam.

Batuan antariksa selebar 3,6 mil itu berada lebih dekat ke Matahari daripada asteroid lain mana pun dan dianggap sebagai hibrida aneh di suatu tempat antara asteroid dan komet.

Meskipun 3200 Phaethon terdiri dari batu (seperti asteroid) daripada es (seperti komet), ia menjadi terang saat mendekati Matahari setiap 524 hari Bumi mirip dengan perilaku komet, bukan asteroid.

Komet biasanya bertindak seperti ini ketika bahan es di dalamnya segera berubah dari padat menjadi gas karena panas matahari, sebuah proses yang disebut sublimasi.

Sebagai pengganti es, yang terpanggang dari batuan luar angkasa sejak lama berkat seringnya bersinggungan dekat dengan bintang kita, pancaran 3200 Phaethon saat mendekati Matahari mungkin berasal dari desisan natrium yang ditemukan para ilmuwan pada 2021.

Saat asteroid mendekati Matahari, natriumnya memanas dan menguap. Ini telah menghabiskan elemen di permukaan 3200 Phaethon, yang menjelaskan mengapa ketika puing-puingnya memasuki atmosfer dengan kecepatan 79.000 mil per jam untuk menciptakan Geminid, meteor ini rendah sodium.

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang komet atau asteroid hibrida aneh ini dan sumber hujan meteor Geminid, Demonstrasi dan Eksperimen Teknologi Antariksa untuk perjalanan Antarplanet dengan Phaethon flyby dan misi debu, atau misi DESTINY+, akan terbang melewati 3200 Phaethon akhir dekade ini.