Kelompok Media, Kritik Pemerintah Uganda yang Berlakukan UU Teknologi Informasi yang Ambigu
Presiden Uganda, Yoweri Museveni, dituduh sahkan UU TI yang ambigu. (foto: twitter @KagutaMuseveni)

Bagikan:

JAKARTA - Kelompok media meminta pengadilan tinggi Uganda pada Senin, 17 Oktober  untuk membatalkan undang-undang komunikasi digital baru yang menurut mereka melanggar konstitusi dan melumpuhkan kebebasan berbicara.

"Undang-Undang Penyalahgunaan Komputer (Amandemen)" di Uganda, yang mulai berlaku minggu lalu, melarang orang menggunakan komputer untuk mengirim informasi apa pun yang mungkin mengejek atau merendahkan seseorang.

Peraturan perundangan itu melarang perekaman atau video siapa pun tanpa persetujuan mereka, di antara klausul lainnya, dan memiliki hukuman mulai dari denda hingga hukuman penjara.

Pejabat partai yang berkuasa dan pendukung undang-undang lainnya berpendapat undang-undang itu akan mengekang ujaran kebencian, melindungi anak-anak, dan menghentikan berbagi informasi palsu atau jahat.

Presiden Uganda, Yoweri Museveni, yang menandatangani RUU itu menjadi undang-undang pada hari Kamis, 13 Oktober, secara teratur mengeluh tentang apa yang dia sebut kebohongan terhadap pemerintahnya di media sosial.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyebut undang-undang itu kejam, dan mengatakan UU itu menambah penggunaan otoritas gudang senjata untuk menargetkan komentator kritis dan menghukum media independen.

Dalam pengajuannya ke Mahkamah Konstitusi, 13 pemohon mengatakan undang-undang itu inkonstitusional, ambigu dan mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.

Peter Arinaitwe, seorang pengacara yang mewakili salah satu pemohon, Alternative Digitalk Limited, mengatakan bahasa yang tidak jelas dalam undang-undang dapat menghukum komunikasi yang sah.

"Warga negara punya hak untuk berekspresi. Itu melekat. Itu hak yang diberikan oleh alam kepada kita," kata Arinaitwe, seperti dikutip Reuters.