JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Kamis, 15 September menyatakan bahwa pihaknya sedang menyelidiki potensi praktik bisnis yang tidak adil oleh Google atas penggunaan layanan pembayaran eksklusif untuk platform distribusi perangkat lunak Google Play Store.
Langkah ini mengikuti penyelidikan serupa oleh regulator antimonopoli negara-negara lain atau secara global yang melibatkan Google Alphabet Inc.
"KPPU menduga Google telah melakukan penyalahgunaan dengan menggunakan posisi dominannya, penjualan bersyarat dan praktik diskriminatif dalam distribusi aplikasi digital di Indonesia," kata Direktur Ekonomi, Kedeputian bidang Kajian dan Advokasi, Mulyawan Ranamanggala dalam keterangannya, Kamis, 15 September
Investigasi awal yang dilakukan oleh KPPU menemukan bahwa sejak 1 Juni pengembang aplikasi di Indonesia diharuskan menggunakan sistem pembayaran Google, yang mengenakan biaya 15% hingga 30%.
“Jumlah yang dibebankan oleh Penagihan Google Pay jauh lebih tinggi daripada layanan lain, yang harganya di bawah 5% sebelum persyaratan berlaku,” tambah Mulyawan.
Menurutnya, apabila aplikasi tidak mematuhi ketentuan Google ini, maka mereka berisiko dihapus dari Google Play Store.
KPPU mengatakan Google menguasai 93% pangsa pasar di negara berpenduduk 270 juta orang yang memiliki ekonomi digital yang berkembang pesat.
Mulyawan mengatakan KPPU selama beberapa bulan terakhir telah melakukan penelitian inisiatif yang berkaitan dengan Google. Penelitian tersebut difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.
GPB adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi alias in-app purchases yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GPB tersebut, Google mengenakan tarif layanan atau fee kepada aplikasi sebesar 15-30% dari pembelian.
Google tidak segera menanggapi permintaan komentar atas tudingan KPPU ini. Namun di negara lain di mana ia menghadapi penyelidikan serupa, perusahaan berpendapat bahwa biaya layanannya membantu menjaga Android tetap gratis. Selain itu, memberi pengembang alat dan platform global untuk mengakses miliaran konsumen di seluruh dunia.
BACA JUGA:
Google telah didenda lebih dari 8 miliar euro (Rp119,3 triliun) oleh Uni Eropa dalam dekade terakhir untuk praktik anti-persaingan terkait dengan layanan perbandingan harga, sistem operasi seluler Android, dan layanan periklanan.
Pengadilan tinggi Uni Eropa juga menguatkan putusan pada Rabu lalu bahwa hal itu melanggar aturan persaingan dan mendenda Google dengan rekor denda 4,1 miliar euro (Rp61,2 triliun).
Regulator telekomunikasi Korea Selatan juga mengumumkan pada Agustus lalu, bahwa pihaknya merencanakan penyelidikan terhadap operator toko aplikasi, termasuk Google, atas dugaan pelanggaran undang-undang pembayaran dalam aplikasi.
Seoul meloloskan undang-undang tahun lalu yang dijuluki undang-undang "anti-Google", yang melarang operator toko aplikasi besar memaksa pengembang perangkat lunak untuk menggunakan sistem pembayaran mereka, yang secara efektif menghentikan mereka dari membebankan komisi atas pembelian dalam aplikasi.
KPPU akan melakukan investigasi selama 60 hari ke depan dan seorang pejabat mengatakan jika Google terbukti melanggar undang-undang anti-monopoli dapat didenda maksimal 50% dari laba bersih yang diperoleh selama periode tersebut.