Bagikan:

JAKARTA - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2020 sedang memasuki tahap penghitungan suara. Persaingan ketat Donald Trump dan Joe Biden turut diamati para bos perusahaan teknologi dan media seperti Facebook, Twitter hingga Google.

Terlepas dari siapa yang akan memenangkan perlombaan ke Gedung Putih. Nyatanya banyak raksasa media dan teknologi yang sudah menetapkan pilihannya dan justru berharap Joe Biden jadi pemenang Pilpres AS 2020 tahun ini.

Bukan tanpa alasan jika mereka cukup kompak tak ingin Donald Trump kembali jadi Presiden Amerika Serikat lagi. Sebut saja kecenderungan Donald Trump dalam beropini di media sosial, memaksa orang-orang seperti Facebook dan Twitter harus bekerja keras untuk bertanggung jawab atas konten yang kerap diposting Trump.

Belum lagi masalah antitrust yang menjadi topik hangat bagi raksasa teknologi seperti Google, Facebook dan Twitter. Tentunya kemenangan Joe Biden dapat memberikan alternatif bagi gugatan yang dilayangkan Departemen Kehakiman AS kepada raksasa teknologi. 

Sejatinya mayoritas bos-bos teknologi merupakan simpatisan dari Partai Demokrat di AS. Bahkan tak sedikit uang yang mereka sumbangkan di tahun 2020 bertujuan agar Trump tidak terpilih lagi dan juga agar Partai Demokrat mengontrol senat.

Pendiri Facebook, Dustin Moskovitz misalnya, menyumbangkan 24 juta dolar AS. Kemudian mantan CEO Google, Eric Schmidt, yang menyumbang 6 juta dolar AS. Keduanya adalah donatur penting Future Forward USA yang mengupayakan Joe Biden jadi presiden dalam Pilpres AS 2020.

Jadi pantas bila Donald Trump sempat menuding perusahaan teknologi besar dan media telah bersatu melawan dia untuk mendukung Joe Biden. Termasuk isu yang dihembuskan Trump soal China.

"Teknologi besar, media besar dan donor besar yang kuat sangat membutuhkan Joe yang mengantuk untuk menang. Mereka ingin dia menang. Saya akan memberi tahu Anda siapa yang ingin dia menang. China. Mereka akan memiliki negara kita karena mereka memilikinya," ucap Trump saat berkampanye di Negara Bagian Carolina Utara, seperti dikutip dari Financial Express. Rabu 4 November.

Tak hanya bos-bos dari raksasa teknologi, menurut laporan dari Center for Responsive Politics, 98 persen karyawan di perusahaan internet memilih ke Partai Demokrat. Mengingat sejumlah kebijakan Donald Trump soal imigrasi, perdagangan dan juga penanganan pandemi Corona banyak menuai kritik dari kalangan mereka. 

Hasil sementara Pilpres AS (Google)

Perang Dagang China

Tak bisa dipungkiri dukungan para bos teknologi ke Joe Biden dilakukan untuk melepas persaingan besar pasar Big Tech dari China. Terlebih sektor ekonomi cepat di AS berupa teknologi, baik itu perangkat lunak, media sosial hingga perangkat keras. 

Menurut analis pasar Scott Galloway di harian The Sydney Morning Herald, reformasi teknologi sangat diperlukan untuk memecah kebuntuan. Termasuk mengamankan tenaga kerja global berbakat hingga kembalinya hubungan yang lebih stabil dengan China.

Bagi Galloway, yang bukan penggemar pemerintahan saat ini melihat cara Trump mempertahankan status quo Sillicon Valley hanyalah gertakan. Hal itu justru memaksa raksasa teknologi untuk mencari pedoman baru yang melampaui ekspektasi Trump.

"Lihatlah pendekatan yang keliru, tidak konsisten, dan tidak kompeten dari pemerintahan Trump terhadap teknologi - ia ingin melarang TikTok, tetapi di mana preseden hukumnya? Yah, kami tidak memiliki satu pun yang tidak kami sukai," ungkapnya.

Sejauh ini perolehan electoral votes untuk capres Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Joe Biden, terus naik meninggalkan perolehan electoral votes Presiden Donald Trump. Joe Biden unggul 248 suara dari Donald Trump yang mendapat 214 suara.

Perlu diketahui Pilpres AS menganut sistem electoral college atau sistem keterwakilan, maka perolehan electoral votes menjadi penentu kemenangan seorang capres. Dibutuhkan setidaknya 270 electoral votes -- dari total 538 electoral votes yang ada -- untuk memenangkan pilpres AS