Bagikan:

JAKARTA - Ada lebih dari 1.759 konten hoaks yang telah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dari media sosial di Indonesia. Banyak di antaranya berupa konten misinformasi terkait vaksin COVID-19 yang beredar di masyarakat. 

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengungkapkan ada sejumlah informasi yang harus masyarakat ketahui mengenai vaksin COVID-19, agar tidak ada celah disinformasi atau hoaks yang beredar lalu menjadi polemik. Secara bertahap Kominfo akan memberikan sosialisasi perihal tersebut secara jelas dan baik kepada masyarakat.

Pertama, mengenai jumlah dan distribusi vaksin yang tersedia akan diberikan pada seluruh masyarakat secara bertahap. Sebelumnya, pemerintah menetapkan sebanyak 170 juta jiwa atau sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia akan mendapatkan suntikan vaksin COVID-19. Sementara Indonesia sendiri, memerlukan vaksin COVID-19 sebanyak 340 juta dosis dalam kurun waktu setahun.

Lebih lanjut, informasi lain yang perlu masyarakat tahu yakni sertifikasi medis dan label halal vaksin. Menurut Johnny, saat ini pemerintah melalui MUI, BPOM dan WHO sudah menempuh tahapan yang seharusnya dilakukan. MUI akan mengeluarkan fatwa mengenai hal ini.

Sertifikat vaksin baik dari segi medis BPOM maupun WHO. Masyarakat harus disampaikan bahwa ini semua tahapan sudah dilakukan. Sertifikat halal vaksin saat ini MUI ikut terlibat aktif di dalamnya dan nanti melalui fatwa terkait itu. Jangan sampai menjadi polemik.

“Juga harga vaksin, supply dan demand vaksin, jangan sampai vaksinasi menjadi persoalan di luar dari tujuan kesehatan itu sendiri,” kata Johnny, seperti dilansir dari Antara, Minggu, 18 Oktober.

Johnny kembali mengingatkan agar masyarakat tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan. Menurut dia, hal ini akan terwujud salah satunya jika tidak ada transmisi informasi pada masyarakat yang kontradiktif hingga membuat mereka bingung. Perang terhadap hoaks terkait COVID-19 termasuk di media digital menjadi sorotan penting di sini.

Johnny mengatakan, data terkini Kemenkominfo menunjukkan terdapat 1197 isu disinformasi yang tersebar di empat platform digital yakni Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube dengan sebaran sebanyak 2020. Dari jumlah sebaran 2020 ini, sekitar 1759 konten di antaranya sudah diblokir.

Sebagai langkah penanganan, pemerintah melalui Kemenkominfo dan kepolisian sudah menjatuhkan saksi pada pembuat dan penyebar hoaks hingga menghubungi para pejabat eksekutif platform media sosial terkait.

Dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan Erlina Burhan mengakui hoaks kerap menjadi masalah. Di mana masyarakat terlalu mempercayai informasi tidak benar yang beredar di media sosial.

“Hoaks ini tidak ada habisnya, di media sosial 50 persen isinya hoaks, tidak usah dipercaya. Hanya modal jempol, orang bisa membuat rusuh,” kata dia.

Erlina mencontohkan, dampak hoaks ini antara lain membuat pasien-pasien COVID-19 tidak mau datang ke rumah sakit dan ini berdampak buruk pada mereka yang sudah mempunyai penyakit penyerta atau komorbid seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan lainnya.

Akhirnya banyak dari mereka yang meninggal di rumah karena tidak mendapatkan pengobatan. Menurut dia, masyarakat takut datang ke rumah sakit karena takut tertular COVID-19. Padahal sebenarnya rumah sakit bisa mengendalikan penularan infeksi jauh lebih baik daripada masyarakat.

Dia mengakui informasi COVID-19 sangat dinamis karena tergolong penyakit baru dan para pakar kesehatan termasuk di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih mempelajarinya. Masyarakat diimbau untuk mencari informasi yang benar melalui sumber-sumber resmi mengenai COVID-19.

Informasi Hoaks di Masyarakat

Di sisi lain, sebenarnya mayoritas masyarakat sangat khawatir dengan informasi yang menyesatkan terkait COVID-19. Temuan dari pihak Indikator Politik Indonesia yang diungkapkan pada Minggu ini menunjukkan, sebanyak 55,7 persen orang mengaku sangat khawatir, sedangkan 24,8 persen agak khawatir dan 12,7 persen orang yang mengatakan luar biasa khawatir. Sementara itu, hanya 5,3 persen orang yang mengaku tidak terlalu khawatir dan 1 persen tidak khawatir sama sekali.

Hasil ini didapat setelah tim peneliti mengumpulkan data dari 1200 responden yang dipilih pada 24 September-30 September 2020. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ukuran sampel ini memiliki toleransi kesalahan (margin of error--MoE) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut Erlina, penanggulangan informasi salah di media digital ini tak bisa hanya semata melalui take down sumber terkait atau menelusuri sosok penyebarnya, tetapi juga pemberian edukasi yang benar, mudah dipahami masyarakat dan sifatnya masif.

Saran ini direspon positif Menteri Johnny yang menegaskan pentingnya diseminasi lalu edukasi dilakukan secara terus menerus di semua media komunikasi dan secara pentahelix atau melibatkan berbagai unsur mulai dari masyarakat, pemerintah, akademisi, pengusaha dan media.

Dia menegaskan komitmen pemerintah berpihak pada masyarakat. “Saya meyakini Pak Jokowi benar-benar berpihak pada masyarakat. Di setiap diskusi, rapat terbatas, pengambilan keputusan, tekanannya selalu memperhatikan kepentingan nasional kita,” tutup Johnny.