Bagikan:

JAKARTA - Jack Dorsey kembali meninggalkan Twitter setelah enam tahun menjabat lagi pada 2015 lalu. Namun, Dorsey meninggalkan media sosial tersebut kini dengan banyak tantangan untuk penerusnya.

Saat kembali pada 2015 lalu, karyawan serta investor cukup khawatir dengan peran ganda Dorsey yang juga menjabat sebagai CEO Square. Diduga pada saat itu, akan menimbulkan beragam masalah di perusahaan.

“Banyak yang khawatir dengan prospek jabatan sementara Dorsey menjadi permanen, mengingat gaya manajemennya yang memecah belah dan terkadang tidak menentu serta fakta bahwa dia telah diberhentikan dan kembali ke perusahaan sebelumnya," tulis New York Times pada 2015 lalu.

Situasi perusahaan pada waktu itu memang tengah menghadapi kekacauan, di mana Twitter sedang mengalami pertumbuhan pengguna yang lesu. Akibat dari minimnya pembaruan, penambahan fitur yang tak kunjung datang selama bertahun-tahun. Terdapat pula pelecehan yang tidak terkendali di situs micro-blogging itu.

Tetapi, semenjak kedatangan Dorsey, omset perusahaan mulai naik dan Twitter mulai tumbuh lagi. Sayang, platform ini masih berjuang dengan pelecehan, meski telah melakukan upaya bersama untuk mendorong percakapan yang sehat dan telah meningkatkan kebijakannya terhadap ujaran kebencian.

Di bawah kepemimpinan Dorsey, belum lama ini perusahaan telah mengubah fitur intinya dan menciptakan sumber pendapatan baru. Pada tahun lalu saja, Twitter telah memperkenalkan fitur untuk live audio, grup, dan pembayaran.

Twitter meluncurkan fitur yang berfokus pada konten kreator seperti Super Follows dan memperoleh platform buletin untuk konten bentuk panjang. Bulan lalu, ia juga memperkenalkan layanan berlangganan, Twitter Blue. Adapula BlueSky, sebuah rencana untuk membuat standar terdesentralisasi untuk platform media sosial.

Tantangan Lama untuk CEO Baru

Namun, CEO Twitter baru Parag Agrawal masih akan mewarisi tantangan di samping semua proyek baru. Meskipun perusahaan telah membuat langkah dalam meningkatkan percakapan yang sehat, ini juga bergulat dengan antara kebebasan berbicara dan toksisitas, terutama ketika tokoh politik terlibat.

Seperti platform lainnya, perusahaan juga harus dan masih akan berjuang untuk mengendalikan informasi yang salah selama pandemi COVID-19 berlangsung dan pemilihan presiden.

“Dorsey meninggalkan warisan campuran, platform yang berguna dan ampuh untuk komunikasi cepat, tetapi platform yang telah dieksploitasi oleh berbagai aktor jahat, termasuk mantan Presiden AS Donald Trump, melakukan yang terbaik di Twitter untuk merusak demokrasi, sampai orang-orang Dorsey akhirnya menututup akun dia,” ungkap wakil direktur Pusat Bisnis dan Hak Asasi Manusia Stern NYU, Paul Barrett.

Mengutip Engadget, Rabu, 1 Desember, Twitter di bawah Dorsey akhirnya secara permanen melarang Donald Trump yang hanya membuat perusahaan itu lebih menjadi target para politisi. Dan itu tidak mungkin berubah hanya karena CEO baru Twitter.

Agrawal mengambil alih platform media sosial sembari menghadapi perhitungan yang lebih besar tentang peran mereka dalam masyarakat. Saat para pembuat undang-undang mengawasi algoritma pengatur dan reformasi lainnya, Twitter telah mulai meneliti amplifikasi algoritmik dan potensi kerugian yang tidak disengaja, disebabkan oleh sistem peringkatnya.

Sekarang semua diserahkan kepada Agrawal untuk bagaimana akan mengarahkan pekerjaan itu sambil menavigasi pengawasan dari anggota parlemen. Dia juga akan mewarisi tujuan ambisius yang ditetapkan Twitter awal tahun ini.

Di mana platform akan menggandakan pendapatannya dan menumbuhkan basis penggunanya menjadi 315 juta pengguna aktif harian yang dapat dimonetisasi pada akhir tahun 2023.

Sementara itu, ada beberapa tanda bahwa Agrawal mungkin berada di posisi yang tepat untuk mewujudkannya. Di mana saat Twitter di bawah Dorsey sangat lambat dalam membuat keputusan dan merilis pembaruan, Agrawal diketahui merupakan pendukung di balik fitur baru seperti pemberian tip Bitcoin dan proyek Bluesky.

Sebagai informasi, Twitter telah bertaruh bahwa menjauh dari iklan dan bersandar ke layanan berlangganan dan fitur baru lainnya. Dan tidak jelas bagaimana perusahaan dapat dengan mudah membujuk sebagian besar pengguna untuk mulai membayar konten tambahan atau fitur premium.

Tampaknya, Agrawal sangat menyadari tantangan ke depan, “Kami baru-baru ini memperbarui strategi kami untuk mencapai tujuan ambisius, dan saya percaya strategi itu harus berani dan benar,” ujar Agrawal dalam email kepada karyawan.

“Tetapi tantangan kritis kami adalah bagaimana kami bekerja untuk melawannya dan memberikan hasil," imbuhnya.