JAKARTA - CEO Twitter Jack Dorsey ternyata pernah ditegur oleh Pangeran Harry dari Inggris, karena membiarkan sebuah kudeta berada di platformnya. Peringatan itu datang sebelum serangan US Capitol pada 6 Januari lalu terjadi.
Namun, sejak kerusuhan yang dibuat oleh pendukung Donald Trump yang mencoba untuk menghentikan penghitungan suara elektoral dan membatalkan kemenangan Presiden AS Joe Biden itu, Harry tidak pernah mendengar kabar dari Dorsey lagi.
"Dorsey dan saya saling mengirim email sebelum 6 Januari di mana saya memperingatkan dia bahwa platformnya memungkinkan kudeta dipentaskan. Email itu dikirim sehari sebelumnya, lalu terjadi, dan saya belum mendengar kabar darinya sejak itu," ujar Harry.
Harry, Duke of Sussex itu menyerang platform media sosial untuk menghentikan penyebaran kebohongan online. “Saya belajar dari usia dini bahwa insentif untuk penerbitan tidak selalu sejalan dengan insentif untuk kebenaran,” kata Harry.
Mengutip NBC News, Kamis, 11 November, Harry juga mengecam istilah "Megxit" yang digunakan oleh media untuk menggambarkan kepergiannya dari keluarga kerajaan Inggris bersama istrinya, Meghan Markle, Duchess of Sussex.
“Mungkin orang tahu ini dan mungkin tidak, tapi istilah 'Megxit' dulu atau merupakan istilah misoginis, dan itu diciptakan oleh troll, diperkuat oleh koresponden kerajaan, dan itu tumbuh dan tumbuh dan tumbuh menjadi media arus utama. Tapi itu dimulai dengan troll," jelas Harry.
Harry merupakan bangsawan senior dan cucu Ratu Elizabeth II, kini ia tinggal di California bersama sang istri Meghan Markle dan bertugas di Komisi Aspen Institute untuk Gangguan Informasi.
Sebelumnya diwartakan, Meghan Markle dan Pangeran Harry secara mengejutkan terungkap sebagai target dari kampanye Twitter terkoordinasi yang penuh kebencian. Bahkan keduanya kerap menjadi pembicaraan yang mengandung rasisme.
BACA JUGA:
Menurut laporan dari layanan analisis Twitter Bot Sentinel, yang menganalisis 114.000 tweet terkait Duke dan Duchess of Sussex itu. Mereka menemukan bahwa sekitar 70 persen komentar kebencian tentang pasangan tersebut berasal dari 83 akun.
"Menggunakan alat analitik internal dan pihak ketiga, kami memperkirakan potensi jangkauan unik gabungan dari 17.000.000 pengguna. Kami menggunakan koneksi teman atau pengikut, retweet, dan mention untuk mengidentifikasi akun yang merupakan bagian dari jaringan kebencian yang sama," ungkap laporan tersebut.
"Penelitian kami mengungkapkan bahwa akun-akun ini dengan berani berkoordinasi di platform, dan setidaknya satu akun secara terbuka merekrut orang untuk bergabung dengan inisiatif kebencian mereka, di Twitter," imbuhnya.