Politik Dinasti dan Tantangan Netralitas di Pemilu 2024
Dugaan praktik politik dinasti dan Netralitas jelang pemilu dan pilpres 2024 banyak digaungkan. (ilustrasi VOI)

Bagikan:

Pemilu 2024 semakin mendekat, namun dinasti politik dan isu netralitas aparatur negara menjadi sorotan utama. Pertanyaan besar muncul: mampukah Pemilu 2024 berlangsung netral ketika anak penguasa turut bertarung? Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang sebelumnya membangun citra positif, mendapat kritik tajam karena dituduh menyalahgunakan kekuasaan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober lalu mengabulkan gugatan mahasiswa terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden menimbulkan kontroversi. Putusan tersebut, yang memungkinkan seseorang berusia di bawah 40 tahun mencalonkan diri, dianggap sebagai langkah untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, dalam Pilpres 2024.

Namun, bukan hanya Gibran. Fenomena dinasti politik semakin mengemuka dengan mantu Presiden Jokowi Bobby Nasution, yang menjabat sebagai Wali Kota Medan, dan Kaesang Pangarep, yang mendadak terjun ke politik dan menjadi Ketua Umum PSI. Dinasti politik, yang bukan hal baru, menciptakan perbedaan dengan dinasti politik era Bush di Amerika Serikat.

Pertanyaan kritis muncul: apakah Jokowi dapat mempertahankan netralitas-nya sebagai presiden menjelang Pemilu 2024? Feri Amsari, seorang pengamat Hukum Tata Negara, di media menyatakan bahwa godaan untuk mengistimewakan keluarga, terutama anak, adalah sesuatu yang sangat sulit dihindari.

Netralitas Jokowi sendiri sudah diuji sebelum kampanye dimulai, terutama terkait kasus penurunan baliho pasangan Capres yang menjadi lawan Gibran di beberapa daerah. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai bentuk intimidasi dan ketidaknetralan presiden dalam Pemilu.

Gibran juga dikritik karena dianggap melakukan pelanggaran kampanye dengan membagikan susu di Car Free Day, dan berimbas pada tuduhan ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Yayan Hidayat, Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting, di VOI menyatakan bahwa kemunculan dinasti politik mempersulit harapan agar Pemilu berlangsung netral. Sentralisasi kekuasaan dalam dinasti politik dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi.

Pernyataan kontroversial Ade Armando dari PSI menciptakan ketegangan, yang direspons oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur DIY, dengan menegaskan keistimewaan DIY. Bahwa keistimewaan DIY sesuai amanat undang-undang.

Di tengah polemik ini, Syarief Hasan dari Partai Demokrat menyampaikan pandangannya tentang dinasti politik. Dia menekankan bahwa meneruskan jejak orang tua dalam politik sah-sah saja, tetapi prosesnya harus mematuhi ketentuan prosedural dan tidak tiba-tiba. Menurutnya, regenerasi harus melibatkan pemuda yang meningkatkan kompetensi dan kapasitas.

Dengan isu dinasti politik semakin mencuat, Pemilu 2024 menjadi ajang yang penuh dinamika. Tantangan terbesar adalah menjaga netralitas dan integritasnya, terutama dengan isu keterlibatan dinasti politik yang semakin nyata.