JAKARTA - Gas air mata dianggap sejumlah kalangan di Indonesia sebagai pemicu seratus lebih suporter Arema FC tewas setelah kekacauan di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, seusai pertandingan Arema melawan Persebaya pada 1 Oktober yang dimenangkan Persebaya 3-2.
Peristiwa ini masih diselidiki oleh pihak berwajib Indonesia, sementara PSSI dan PT Liga Indonesia Baru langsung menghentikan sementara kompetisi Liga 1 Indonesia dan melarang Arema FC bermain di kandangnya sampai musim 2022-2023 ini selesai.
Presiden Joko Widodo pun memerintahkan peristiwa yang merenggut korban begitu banyak termasuk anak-anak dan remaja ini diusut tuntas
Mencari penyebab kejadian ini pun menjadi bagian sangat penting, dan salah satu faktor yang tak bisa dikesampingkan adalah penggunaan gas air mata.
Gas air mata sendiri umum digunakan dalam mengendalikan massa yang berubah anarkis di mana pun di dunia ini.
Namun, menurut sejumlah kalangan, salah satunya organisasi nirlaba perlindungan hak asasi manusia Physicians for Human Rights, penggunaan gas air mata haruslah terukur karena "gejala fisik iritasi kimia (akibat gas air mata) sering mengakibatkan disorientasi yang memicu keadaan takut, cemas, dan panik."
Serangan panik bisa berjalan bersamaan dengan timbulnya rasa sakit fisik akibat gas air mata.
Adalah naluri semua orang untuk secepat mungkin menjauhi paparan gas air mata, apalagi jika terjadi malam hari di ruang terbatas seperti stadion sepak bola.
Berbeda dengan saat demonstrasi di jalanan di mana orang dengan mudah mencari tempat tak terpapar gas air mata, tidak demikian halnya jika di tempat seperti stadion sepak bola, apalagi yang panik ribuan orang.
Gas air mata memang normal dan legal untuk mengendalikan massa, tapi tetap harus terukur, apalagi menghadapi massa yang rata-rata berusia sangat muda yang mudah terpancing emosinya.
BACA JUGA:
Sejumlah pakar menilai karena berisiko termasuk cedera, hampir tak ada situasi yang membenarkan penggunaan gas air mata dalam mengendalikan massa.
"Satu hal yang pasti gas air mata menyebabkan kepanikan dan kekacauan. Kematian massal akibat terinjak-injak bisa terjadi setelah gas air mata digunakan," kata Ashley Parks dari Bull City Psychotherapy, dikutip Antara, Senin.
Pada 2015 polisi menembakkan gas air mata di sebuah stadion sepak bola di Mesir guna menertibkan penonton yang berbuat onar.
Dua puluh lima orang meninggal dunia karena mati lemas atau terinjak-injak akibat panik menghindari paparan gas air mata.
Saat panik melanda semua orang keluar stadion. Pintu keluar pun berubah seperti leher botol yang kemudian menjadi pintu maut karena orang menjadi sesak nafas, bahkan terinjak yang lain.
Sementara itu, tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang terjadi usai pertandingan antara Arema FC kontra Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3. Kejadian itu masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian dan pihak terkait.