Bagikan:

JAKARTA - Tragedi Kanjuruhan memakan 132 korban jiwa. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) terus bekerjakeras menginvestigasi penyebab terjadinya kericuhan yang membuat duka sepak bola nasional itu.

Anggota TGIPF Tragedi Kanjuruhan, Laode M Syarif, mengatakan pihaknya telah mewawancarai berbagai pihak.

Mulai dari pihak korban, pengelenggara pertandingan, operator Liga 1, asosiasi yang bertanggung jawab mengelola sepak bola di Indonesia, hingga organisasi kemasyarakatan atau CSO telah didatangi atau dimintai keterangan TGIPF.

"Kami sudah mendengarkan keterangan yang cukup dari korban dan keluarga, pihak penyelenggara pertandingan, PT LIB, PSSI, serta CSO," kata Laode kepada VOI, Rabu 12 Oktober.

Bangkai mobil polisi usai dirusak di lapangan Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu 1 Oktober malam. (ANTARA-Vicki Febrianto)

Laode juga menyebutkan, TGIPF telah mengantongi bukti-bukti pendukung yang menjadi bahan investigasi. Gambaran jelas tentang kericuhan yang terjadi usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu 1 Oktober malam itu juga telah dianalisis tim lewat video dan CCTV di tempat kejadian.

"Kami juga telah melihat bukti-bukti video lapangan, dari masyarakat dan dari CCTV stadion, termasuk dari APH di lapangan," sambung Laode.

Berdasarkan keterangan AFC Safety Security Officer dan PFA Safeguardian Committee Chairman sekaligus anggota TGIPF, Nugroho Setiawan, temuan sementara penyelidikan Tragedi Kanjuruhan terkait prasarana pengamanan di stadion sebagai berikut:

1. Stadion Tak Berstandar Laga Berisiko Tinggi

TGIPF menyatakan Stadion Kanjuruhan belum layak untuk menyelenggarakan pertandingan sepak bola high risk match atau memiliki risiko tinggi.

"Kesimpulannya sementara bahwa stadion ini tidak layak untuk menggelar pertandingan high risk match," tutur Nugroho Setiawan dalam video di kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, dikutip Rabu 12 Oktober.

Nugroho menuturkan laga sepak bola skala minimal yang tidak berpotensi tinggi terhadap gesekan dan membeludaknya penonton dari ditiup peluit wasit hingga berakhirnya pertandingan masih dapat digelar di Kanjuruhan. Namun, dia bilang untuk laga berisiko tinggi sebaiknya dihindari.

Aparat kepolisian yang di-BKO-kan menembakkan gas air mata saat laga Arema melawan Persebaya (ANTARA)

2. Pintu Stadion Kanjuruhan Tak Layak

Rekaman CCTV di stadion memperlihatkan sejumlah titik saat kericuhan di Kanjuruhan terjadi. Situasi di pintu stadion menjadi sorotan. Utamanya di pintu 13.

Menurut rekaman CCTV yang dilihat TGIPF, penonton seketika memadati pintu keluar Stadion Kanjuruhan. Mereka makin panik ketika gas air mata ditembakan aparat kepolisian di dalam stadion.

Akibatnya tak sedikit penonton yang berdesak-desakan terinjak, terhimpit hingga kehabisan napas saat ingin keluar pintu stadion.

"Jadi artinya untuk high risk match kita harus membuat kalkulasi yang konkret, misalnya bagaimana mengeluarkan penonton saat keadaan darurat. Pintu masuk berfungsi sebagai pintu keluar, itupun tidak memadai. Kemudian tidak ada pintu darurat. Jadi perbaikan ke depannya merubah struktur pintu itu," ujar Nugroho.

3. Anak Tangga Tak Sesuai Aturan Keselamatan

TGIPF menyebutkan standar bangunan anak tangga dalam Stadion Kanjuruhan menjadi poin lain ketidaklayakan lokasi penyelenggaraan pertandingan.

Nugroho bilang, selain standar bangunan anak tangga, pegangan tangga di Stadion Kanjuruhan dinilai tidak terawat. Terutama ketika adanya himpitan akibat kepanikan sehingga pegangan tangga itu sempat patah melukai penonton.

"Anak tangga secara normatif dalam peraturan keselamatan, ketinggian 18 sentimeter, lebar tapak 30 sentimeter. Ini tadi antara lebar tapak dan ketinggian sama. Rata-rata mendekati 30 sentimeter," ujar Nugroho.

Suasana di pintu 13 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis 6 Oktober. (ANTARA-Vicki Febrianto)

4. Gas Air Mata Tak Pantas Atasi Kerumunan

Setelah menemui, melihat dan sempat menyaksikan fenomena trauma luka korban akibat efek gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian saat Tragedi Kanjuruhan, Nugroho menyebutkan TGIPF menyimpulkan gas air mata menjadi faktor utama permasalahan dalam kericuhan ini.

"Trauma lukanya dari menghitam, kemudian memerah. Menurut dokter, itu recovery-nya paling cepat satu bulan. Jadi efek yang terkandung dalam gas air mata ini sangat luar biasa. Ini juga patut dipertimbangkan untuk crowd control di masa depan," ungkap Nugroho.