Qatar, Tuan Rumah Piala Dunia 2022 yang Diimpit Kontroversi
Qatar, tuan rumah Piala Dunia 2022 (Twitter @fwc22)

Bagikan:

JAKARTA - Penggemar sepak bola tercengang ketika Asosiasi Sepak Bola Dunia FIFA menganugerahkan penyelenggaraan Piala Dunia 2022 kepada Qatar pada 2 Desember 2010. Ya, negara minyak di Timur Tengah dengan penduduk kurang dari 1,4 juta itu diizinkan menyelenggarakan sepak bola Piala Dunia.

Alasan pasti dipilihnya Qatar ketimbang negara-negara favorit seperti Australia, Jepang dan Amerika Serikat, yang juga ikut bersaing, tidak pernah terungkap. Namun, sejak itu terbukti bahwa beberapa bos FIFA dijanjikan sejumah uang sebagai imbalan atas suara mereka. Akibat skandal itu, mereka telah mendapatkan hukuman.

Ini belum termasuk anggaran astronomis lebih dari 150 miliar euro (Rp2.305 triliun)  yang disiapkan pemerintah Qatar untuk diinvestasikan untuk stadion dan dalam meningkatkan bandara, jalan, akomodasi, dan jalur metro baru. Oleh karena itu banyak pihak yang dapat mengatakan turnamen telah dibeli.

Qatar dan LGBT

Sejak terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 12 tahun silam, Qatar menghadapi kritik atas perlakuan negara ini terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), serta catatan mereka tentang hak-hak perempuan dan masalah perburuhan.

Tahun 2020, sebuah laporan dari Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks Internasional (ILGA) mengatakan, salah satu sumber mengindikasikan hukuman mati berpotensi digunakan sebagai hukuman untuk seks homoseksual konsensual di Qatar.

Kepala Eksekutif Piala Dunia FIFA Qatar 2022 Nasser al-Khater, pada 2019 mengatakan, setiap penggemar dari jenis kelamin apa pun, orientasi seksual, agama, dan ras, harus yakin bahwa Qatar adalah salah satu negara paling aman di dunia, dan mereka semua akan diterima di negara tersebut.

Namun, dia menekankan bahwa mempertunjukkan kasih sayang di depan umum tidak disukai, itu bukan bagian dari budaya mereka, dan itu berlaku untuk semua orang.

Piala Dunia terakhir diadakan di Rusia, di mana aktivisme aneh sangat dibatasi di bawah undang-undang propaganda gay 2013, yang melarang promosi hubungan seksual non-tradisional kepada anak di bawah umur.

Terlepas dari popularitas sepak bola yang luar biasa di seluruh dunia, hanya sedikit pesepak bola pria yang pernah mengaku sebagai gay, kebanyakan dari mereka mengakui setelah pensiun untuk menghindari kemungkinan ejekan dari kalangan atas.

Pemain profesional pertama yang mengaku saat masih bermain adalah Justin Fashanu dari Inggris pada 1990, tetapi dia tidak pernah diterima dalam sepak bola dan memutuskan gantung diri pada 1998.

Sementara itu, pesepak bola Australia Josh Cavallo yang mengaku sebagai gay bulan lalu, mengungkapkan ketakutannya untuk bermain pada Piala Dunia 2022 di Qatar karena kriminalisasi negara terhadap homoseksualitas.

Pemain 21 tahun, yang bermain untuk Adelaide United dalam A-League Australia itu adalah satu-satunya pesepak bola gay yang diketahui bermain di liga putra papan atas.

Pengumumannya Oktober 2021 mendapat pujian dari seluruh dunia, termasuk dari penyerang legendaris Swedia Zlatan Ibrahimovic dan pembawa acara talk show AS Ellen DeGeneres.

Namun, gelandang yang pernah bermain untuk Australia di level U-20 tetapi belum dipanggil ke tim senior itu, mengindikasikan dirinya tidak yakin apa yang akan dia lakukan jika terpilih untuk bermain di Piala Dunia 2022.

"Saya membaca sesuatu yang mengatakan bahwa mereka memberikan hukuman mati bagi orang-orang gay di Qatar, jadi itu adalah sesuatu yang saya sangat takutkan dan tidak ingin pergi ke Qatar untuk itu," ujar Cavallo kepada Podcast Guardian's Today in Focus, dikutip dari laman resmi AFP.

"Dan itu membuat saya sedih. Pada akhirnya, Piala Dunia yang diadakan di Qatar dan salah satu pencapaian terbesar sebagai pesepak bola profesional adalah bermain untuk negara Anda. Mengetahui bahwa ini adalah negara yang tidak mendukung gay, orang akan menempatkan kita pada risiko hidup kita sendiri, itu membuat saya takut, dan membuat saya mengevaluasi kembali apakah hidup saya lebih penting daripada melakukan sesuatu yang benar-benar baik dalam karier saya?“ kata Cavallo.

Tuduhan Eksploitasi Pekerja Migran untuk Piala Dunia 2022

Pemerintah Qatar mengakui sistem tenaga kerja mereka masih harus dibenahi, tetapi membantah tuduhan eksploitasi ribuan pekerja migran untuk persiapan Piala Dunia 2022 sebagaimana tertuang dalam laporan Amnesty International.

Pernyataan Badan Komunikasi Pemerintah Qatar pada 16 November membantah klaim Amnesty International soal reformasi tenaga kerja di negaranya tak menciptakan perubahan berarti bagi ribuan pekerja migran di negara Timur Tengah itu.

"Amnesty gagal mendokumentasikan satu cerita pun di antara 242.870 pekerja yang bisa beralih pekerjaan sejak pembatasan diangkat pada September 2020 maupun terkait manfaat yang didapatkan lebih dari 400 ribu pekerja yang kini mendapatkan upah minum baru berdasar kenaikan gaji serta berbagai insentif finansial lainnya," demikian pernyataan tersebut dikutip Reuters.

"Qatar tak pernah mengelak dari fakta bahwa sistem tenaga kerja kami masih harus dibenahi.

"Pemerintah berkomitmen untuk mengadakan kolaborasi aktif dan konstruktif dengan rekanan internasional serta kelompok kritik untuk terus meningkatkan standard bagi pekerja migran di Qatar," tulis pernyataan yang sama.

Sebelumnya, Amnesty International, menerbitkan laporan 48 halaman bertajuk Reality Check 2021 yang menyatakan bahwa di tengah persiapan Piala Dunia 2022 di Qatar masih terjadi praktik penangguhan upah serta pungutan kepada pekerja yang ingin beralih pekerjaan, meskipun sudah dilakukan reformasi tenaga kerja pada 2014.

"Kepuasan diri yang tampak dari pihak berwenang membuat ribuan pekerja terus menghadapi risiko eksploitasi oleh majikan yang tidak bermoral, dengan banyak tidak dapat berganti pekerjaan dan menghadapi pencurian upah," kata direktur program masalah global Amnesty International Mark Dummett sebagaimana dikutip The Guardian.

"Mereka memiliki sedikit harapan untuk pemulihan, kompensasi maupun keadilan. Setelah Piala Dunia, nasib para pekerja yang menetap di Qatar akan semakin tidak pasti."

Isu pekerja migran di Qatar sempat menimbulkan seruan aksi boikot terhadap Piala Dunia 2022.

Namun, dari kalangan pelaku sepak bola seperti tim nasional Belanda menyatakan memberi sorotan langsung saat berlaga di Qatar akan memberi dampak lebih besar ketimbang boikot.

WAGs Timnas Inggris Sewa Yacht Demi Pesta Alkohol

Para istri dan pasangan (WAGs) pemain timnas Inggris telah menyusun rencana agar bisa lolos dari larangan ketat pemerintah Qatar terkait konsumsi alkohol. Mereka memilih untuk menyewa kapal pesiar mewah (yacht) agar tetap bisa berpesta dan menikmati alkohol selama menemani pasangannya tampil di Piala Dunia 2022.

Timnas Inggris menjadi salah satu negara yang sudah memastikan diri tampil di Piala Dunia Qatar 2022 pada 21 November-18 Desember mendatang. Persiapan menuju Qatar pun mulai dipersiapkan skuad Three Lions, termasuk soal penginapan.

Dilansir dari Daily Star, selama berada di Qatar nanti, para pemain kabarnya akan tinggal di Souq Al-Wakra hotel yang dilengkapi pantai pribadi, namun merupakan tempat di mana alkohol dilarang. Sebagai salah satu negara muslim, Qatar cukup ketat dalam menyikapi konsumsi alkohol.

Di negara tersebut, alkohol dilarang dikonsumsi di tempat umum. Konsumsi miras hanya bisa dilakukan di tempat khusus sejumlah hotel tertentu saja. Aturan itu nampaknya bisa diterima oleh Harry Kane dkk.

Namun bagi para WAGs, aturan itu cukup menyiksa. Maka, ketimbang ikut menetap di hotel dengan larangan ketat mereka memilih menyewa kapal pesiar mewah. Nantinya, kapal pesiar itu akan bersandar di pelabuhan dekat Kota Doha selama digunakan.

Sebelumnya, FIFA telah menawarkan keluarga atau pasangan para pemain timnas untuk datang dan mendukung langsung. Sejumlah akomodasi juga telah disiapkan mulai dari kendaraan hingga hotel dan apartemen.

Namun, istri Kane, Katie Goodland, Istri Jordan Henderson, Rebecca Burnett dan Paige Milian yang merupakan tunangan Raheem Sterling mengatakan mereka lebih memilih untuk berada di kapal pesiar. Hal itu dipilih bukan hanya karena alasan ketersediaan alkohol yang tak dibatasi di atas kapal tapi juga karena standar akomodasi yang lebih tinggi ketimbang alternatif yang ditawarkan.