JAKARTA - Indonesia merupakan penghasil gitaris-gitaris bertalenta. Sejak era 1960-an sampai sekarang, begitu banyak gitaris yang menggoreskan cetak biru dalam peta permusikan Tanah Air. Deretan karya hingga skill gitar mumpuni, membuat nama mereka dikenal tak hanya di lingkup nasional tetapi juga hingga ke dunia internasional. Siapa saja gitaris-gitaris yang namanya diakui dunia? Berikut VOI pilihkan enam di antaranya. Simak baik-baik, ya...
Dewa Budjana
Siapa yang tidak tahu Dewa Budjana? Selain aktif bersama band GIGI, Budjana juga produktif merilis karya solo berorientasi gitar. Dia bahkan kerap kali bekerja sama dengan musisi-musisi internasional.
Album ketiganya, Surya Namaskar (2014) menampilkan dua musisi internasional, Jimmy Johnson (bass) dan Vinnie Colaiuta (dram). Sesi rekamannya dilakukan pada Januari dan Oktober 2013 di Henson Studio dan Stagg Street Studio, Los Angeles, Amerika Serikat.
Lalu, di album Hasta Karma, yang juga bernaung di bawah label rekaman Amerika Serikat MoonJune Records, Budjana menggaet vibrafonis legendaris asal New York, Joe Locke dan rhythm section dari Pat Metheny Unity Group yang terdiri dari Ben Williams (upright bass) dan maestro drum Antonio Sanchez.
Di album berikutnya, Zentuary (2016), gitaris kelahiran Bali ini bekerja sama dengan Jack DeJohnette (drum), Tony Levin (bass) dan Gary Husband (piano). Di album Mahadini yang dirilis pada 2018, Budjana kembali menggaet barisan musisi internasional nomor wahid. Kali ini, dia mengajak Jordan Rudess dari Dream Teather, Mohini Dey, Marco Minnemann, Mike Sterna dan John Frusciante (RHCP).
I Wayan Balawan
Pria yang akrab disapa Balawan ini dikenal dengan teknik gitarnya yaitu unik, touch tapping style. Mengaku terinspirasi Eddie Van Halen, Balawan mengembangkan sendiri taknik tapping-nya. Ia memainkan tapping dengan delapan jarinya sehingga seperti bermain piano.
Balawan sering tampil di festival luar negeri, antara lain di East Meet West Gitarren Festival Edenkoben Germany (2000), Open Strings Guitar Festival Osnabrueck Germany (2000), Tour International Guitar Nights in 12 Cities in Germany (2001).
BACA JUGA:
Lalu Hell Blues Festival in Trondheim Norway September (2001), Hell Blues Festival in Trondheim Norway (September 2005), Australian tour 4 cities with Batuan Ethnic Fusion (Oktober 2005), Pop Asia Fukuoka Japan (Oktober 2005) dan Tokyo Asia music Market Tokyo Japan (2005).
Selain sebagai musisi solo, Balawan juga dikenal sebagai anggota grup Batuan Ethnic Fusion, Trisum, BID (Balawan - Ito - Deva) dan banyak lagi lainnya. Bersama BID, gitaris kelahiran Gianyar Bali ini mengekplorasi touch tapping yang sudah menjadi merek dagangnya dengan gaya picking ala John McLaughlin yang dibalut dalam tetesan musik rock dan fusion.
Gitaris kelahiran 1973 ini sering dianggap sebagai salah satu gitaris tercepat di Indonesia. Dia juga dijuluki The Magic Finger, sesuai judul salah satu album solonya.
Gugun
Sepak terjang Gugun bersama trio blues rock bentukannya, Gugun Blues Shelter (GBS) tak hanya menggema di lingkup Nusantara dan Asia, tetapi juga hingga ke tanah Eropa dan sebagian Amerika. Apalagi, setelah GBS merilis album Far East Blues Experience (2011) via label rekaman yang berbasis di New York, Grooveyards Records.
Pria bernama lengkap Muhammad Gunawan ini pernah tampil di panggung Hard Rock Calling di Hyde Park, London, Inggris pada Mei 2011 setelah GBS terpilih sebagai yang terbaik di ajang Hard Rock Battle of Bands. Tak lama setelah itu, Gugun dkk juga melakukan tur mini di Inggris termasuk di klub The Monto Water Rats London, yang menjadi lokasi penampilan perdana band Oasis tahun 1994 silam. Pada November 2012, untuk pertama kalinya Gugun dan GBS menggelar tur Amerika selama dua pekan.
Tak hanya Inggris dan Amerika, setahun sebelum dipinang Grooveyards Records, Gugun dkk juga sempat tampil sepanggung dengan Buddy Guy, Gipsy Kings, Jools Holland & His Rhythm and Blues Orchestra dan The Fray di sebuah event di Singapura yang bertajuk Timbre Rock & Roots.
Eet Sjahranie
Di akhir tahun 1982 Eet Sjahranie mengambil pendidikan sound engineering recording di Chillicote, Ohio. Sepulang ke Indonesia, usai terlibat dalam sejumlah proyek musik, ia diajak Jockey Suryaproyogo masuk ke dalam formasi God Bless, menggantikan Ian Antono.
Suntikan tangan Eet berhasil mengubah God Bless menjadi band yang lebih segar dan garang dalam album Raksasa (1989). Lagu Maret 1989 dan Menjilat Matahari menjadi dua bukti yang paling mewakili kegarangan Eet.
Eet lantas membentuk band hard rock Edane pada 1991. Di Edane, Eet mencurahkan segala kemampuannya dalam bermain gitar. Impiannya menjadikan musik rock Indonesia, yang - paling tidak - secara musikal sama kualitasnya dengan grup-grup rock Barat berusaha ia wujudkan.
Pada 2004, lagu Edane yang berjudul Cry Out, masuk dalam album kompilasi soundtrack film Spider-Man 2. Semua orang mengakui, Eet berhasil menciptakan musik rock yang bermutu. Cabikan jemarinya yang berteknik tinggi serta eksperimen distorsi sound-nya yang kaya membekas dalam tujuh album Edane.
Tohpati
Produktivitas Tohpati sebagai gitaris dan pencipta lagu memang di luar akal sehat. Pria yang akrab disapa Bontot ini telah meluncurkan sejumlah album fenomenal. Ada Trisum Five in One (Trisum), No. 1 (Supersonic), Riot (Tohpati Bertiga), The 6th Story (SimakDialog), Mata Hati (Ethnomission), album solo Song For You dan masih banyak lainnya.
Khusus di album Song For You, Tohpati menyuguhkan lagu Change, hasil kolaborasinya dengan band jazz fusion asal Los Angeles, California, Yellowjackets. Lagu ini direkam pada 2008 saat Yellowjackets singgah di Jakarta untuk bermain di acara JakJazz bareng Tohpati.
Tohpati juga merilis album Tribal Dance (2019) yang menampilkan dua musisi asing Jimmy Haslip dan Chad Wackerman. Album ini diluncurkan tahun 2019 via label Amerika Serikat MoonJune yang didistribusikan di Indonesia via DeMajors.
Referensi dan pengaruh dari Terje Rypdal, John McLaughlin, John Scofield, dan Robert Fripp di sekujur perjalanan karier musikal Bontot telah membentuknya menjadi gitaris yang memiliki gaya signature yang khas. Melalui album kedua Ethnomission, Mata Hati misalnya, Bontot seakan berteriak lantang kepada jagat gitar bahwa ia memiliki kekuatan dan kepiawaian yang layak diperhitungkan panggung musik dunia.
Iwan Hasan
Sebagai seorang multi-instrumentalis yang menguasai harp guitar, gitar, kibor dan seorang komposer, Iwan Hasan adalah fenomena yang telah mengukir nama Indonesia di kancah Internasional sejak awal ‘90an.
Di Tanah Air, selain pernah mendirikan band progressive rock Discus pada 1996, Iwan juga menjadi kunci di balik suksesnya sejumlah lagu dan album milik Ungu dan ST12. Menyusul kepergiannya dari Discus, Iwan menjelma menjadi mastermind sebuah band beraliran jazz, Chamber Jazz dan band pop rock bernama Atmosfera.
Iwan juga ambil bagian dalam album kompilasi berorientasi gitar bertajuk Gitar Klinik I (1999) gawean RotorCorp bersama sejumlah gitaris nomor wahid Tanah Air seperti Eet Sjahranie, Edo Widiz dan Andry Muhamad. Permainan gitarnya dalam lagu Transcultural Echoes on 33 Strings diakui banyak gitaris era berikutnya sebagai komposisi yang sangat inspiratif.
Iwan Hasan memilih instrumen harp guitar sebagai ‘belahan jiwanya’ tatkala ia sekolah musik di Willamette University, Oregon, Amerika Serikat pada tahun 1991. Adalah guru besarnya, John Doan, yang membuatnya tertarik untuk memainkan alat musik keluaran zaman Renaissance itu. Namun, tak seperti kebanyakan musisi harp guitar dunia yang memainkan harp guitar 20 senar, Iwan memilih harp guitar 21 senar dengan menambahkan kunci E sebagai kunci yang paling rendah.
Pada periode yang sama, Iwan juga mendapatkan Outstanding Music Student Award dari sekolahnya tersebut. Penghargaan itu diberikan bukan karena Iwan ikut kontes atau perlombaan. Namun, lebih kepada perkembangan dan aktivitas sehari-hari Iwan yang cukup ‘rakus’ menekuni jazz combo, klasik dan komposisi.
Iwan kemudian menjadi satu-satunya musisi Asia yang terlibat dalam album kompilasi bertajuk Beyond Six Strings yang dirilis di Negeri Paman Sam pada 2008.