Nusantara Penghasil Buruh Murah Sejak Zaman Belanda
Perburuhan di Deli (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Imej Nusantara sebagai pengahasil buruh murah telah hadir sejak dulu kala. Di bawah penjajahan Belanda, tenaga buruh diperas macam “sapi perah.” Apalagi selepas berakhirnya tanam paksa. Nasib buruh hanya berpindah dari pemerintahan kolonial ke pengusaha Belanda.

Mereka mendapatkan ragam bentuk diskriminasi, terutama perihal gaji. Gaji buruh bumiputra sangat kecil. Sementara buruh Belanda mendapatkan upah tinggi. Padahal, kedudukannya relatif sama. Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel dianggap sebagai ladang duit Belanda.

Sejak dicetuskan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Den Bosch (1830-1833) pada 1830, siasat tanam paksa terbilang jitu. Keuntungan dari komoditas perkebunan yang dikelola secara masif jadi gerbang Belanda menuju kaya raya.

Berkah tanam paksa Belanda dapat melunasi utang negara hingga membangun di segala bidang. Sistem tak berperikemanusiaan itu bertahan 40 tahun (1830-1870). Golongan liberal dan humanis Belanda jadi yang paling bersuara keras supaya diakhirinya sistem tanam paksa.

Namun, dihapusnya sistem tanam paksa tak serta-merta mengubah kehidupan kaum bumiputra. Belanda tetap memerlakukan buruh Nusantara bak sapi perah. Yang berbeda hanya pelaku pemerasnya. Jika masa tanam paksa buruh diperas oleh pemerintah kolonial Belanda, maka masa selanjutnya buruh diperas oleh pengusaha swasta Belanda.

“Penderitaan bangsa Indonesia hanya sedikit dikurangi. Taraf kehidupan mereka tetap rendah. Dengan begitu penghapusan Cultuurstelsel tidak berarti datangnya kemakmuran (taraf hidup lebih dari cukup) pada bangsa Indonesia. Tingkatan hidup rakyat Indonesia dipertahankan tetap rendah, supaya mudah mencari buruh yang murah.”

Perburuhan di Deli (Sumber: Wikimedia Commons)

“Industrialisasi tidak dikembangkan secara meluas supaya tidak merugikan industri Nederland yang tidak timbul kelas (serikat) buruh yang kuat. Sifat masyarakat pribumi yang agraris dipertahankan dan dijaga jangan sampai timbul kelas menengah pribumi (borjuis nasional),” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 1 (1989).

Semenjak itu Belanda tak lagi banyak memakai jasa buruh dari luar Nusantara. Buruh-buruh umumnya berasal dari Pulau Jawa. Siasat belanda tak lain supaya tak banyak kesulitan atau biaya untuk mengangkut buruh.

Aturan demi aturan untuk menjaga kaum buruh berkerja turut dibuat oleh Belanda. dalam salah satu aturan, praktek curang yang sering dilakukan oleh agen-agen perekrutan buruh dipangkas. Belanda hanya mengakui agen-agen perekrutan yang sudah mendapatkan lisensi saja.

Ada pun buruh yang direkrut terbatas pada mereka pria dewasa atau wanita yang belum menikah. Sebab, anak-anak atau wanita yang sudah menikah dilarang keras oleh Belanda menjadi buruh. Setelahnya, Belanda juga memperbaiki sistem perekrutan buruh.

“Perkembangan penting dalam sistem perekrutan professional yang disebutkan di atas, diperkenalkan pada tahun 1915. Sebagian besar perekrutan telah beralih ke perekrutan buruh dengan gaji tetap. Jaminan terhadap perlakuan buruk telah dibuat melalui kontrol pemerintah.”

“Sekarang, ada dua perkumpulan yang menangani perekrutan mereka di Jawa yaitu Kantor Emegrasi Deli Umum, yang dibentuk oleh D.P.V. (Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Deli) dan A.V.R.O.S (Perkumpulan Umum Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra) dan kedua, Perkumpulan Pertanian Sumatra Selatan dan Industri,” tulis J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).

Nestapa kaum buruh

Buruh di Deli (Sumber: Wikimedia Commons)

Kaum buruh bumiputra menjelma jadi elemen penting penggerak ekonomi Hindia-Belanda, bahkan Kerajaan Belanda. Namun hajat hidup mereka jauh dari sejahtera. Beberapa juta jiwa kebanyakan hidup sebagaimana disebut pejuang kemerdekaan Tan Malaka: pagi makan, petang tidak.

Kepiluan itu bertambah karena kaum buruh tak memiliki tanah. Apalagi alat. Kaum buruh yang bekerja keras, pihak pemerintah dan pengusaha Belanda yang malah mendapat untung.Karenanya buruh bumiputra tak punya banyak pengharapan hidup.

Misalnya seperti di kemudian hari buruh bumiputra dapat berkuasa atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan, hingga membuat badan perdagangan. “Keuntungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bangsa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indonesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh, melainkan sebagai penambah ‘kapital’ yang sudah ada, buat jadi ‘alat penghisap’ yang baru pula.”

“Sebagian besar keuntungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda. Tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan kerapkali diturunkan). Sementara barang-barang makanan semakin mahal,” ungkap Tan Malaka sebagaimana ditulis Syaifudin dalam buku Tan Malaka (2012).

Tak hanya itu. Tan Malaka menyaksikan sendiri bagaimana sengsaranya hidup buruh perkebunan. Ia mencontohkan dalam perkebunan di Deli (Sumatra Utara), misalnya. Buruh berada pada strata paling bawah sistem sosial di perkebunan. Pun di atas kaum buruh, terdapat kaum borjuis yang berkuasa.

Kelompok pengusaha perkebunan (Sumber: Wikimedia Commons)

Itupun kaum borjuis dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kapitalis yang berasal dari Eropa (Amerika, Belanda, dan lain-lain). Kedua, kelompok kapitalis Tionghoa. Ketiga, kelompok kapitalis dari kalangan bumiputra.

Ketiga kelompok itu mendapatkan keuntungan besar dari perkebunan. Mereka bisa mendapatkan hingga puluhan-ratusan ribu gulden per tahun. Sedang kaum buruh bumiputra yang notabene banyak bekerja, nasibnya lebih apes daripada buruh berkebangsaan Belanda. Upah buruh Bumiputra hanya 0,4 gulden sehari. Uang itu jika dihitung hanya dapat membeli secuil kue dan selembar baju murah. Kondisi itu juga terlihat di perkebunan-perkebunan lainnya di Nusantara.

Ketika bekerja pun kaum buruh bumipura sering kali dibentak hingga dipukul oleh empu atau mandornya perkebunan. Ancaman lain kaum buruh adalah mereka sewaktu-waktu harus siap kehilangan anak-istri. Momen kehilangan itu kala sewaktu-waktu empunya perkebunan tertarik menjadikan anak-istri buruh sebagai gundik.

“Kalau di dalam bidang politik segala gerak-gerik kaum pergerakan selalu mendapat pengwasan, maka di dalam bidang ekonomi demikian juga. Perusahaan-perusahaan kecil swasta dikenakan pajak yang terlalu tinggi, pegawai-pegawai rendah atau kaum buruh gaji upahnya sangat ditekan dan dibedakan dengan bangsa Belanda walaupun kedudukannya sama rendahnya,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya