Bagikan:

JAKARTA - Hari ini diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi. Salah satu tujuan penting digelarnya program ini adalah dalam rangka pembangunan nasional. Bagaimana keberhasilannya sejak program transmigrasi pertama digelar? 

Penyelenggaraan transmigrasi pertama kali dilaksanakan pasca-Indonesia merdeka, pada hari ini 12 Desember 1950. Oleh karena itu hari ini diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi (HBT).

Pelaksanaan program transmigrasi menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia dalam Transmigrasi Masa Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan (2015) pada dasarnya adalah pemerataan dalam berbagai aspek pengembangan.

Pengembangan itu ditujukan untuk berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, mental spiritual/keagamaan, olah raga, kesenian dan lain-lain.

"Transmigrasi memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan nasional dan transmigran sebagai objek penyelenggaraan transmigrasi telah berkontribusi dalam pengembangan daerah," tertulis.

Namun, tantangan transmigrasi saat ini tidak hanya pemerataan jumlah penduduk, namun juga menjadi bagian integral dari pembangunan daerah. Penyelenggaraannya juga disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah.

Transmigrasi juga menuntut peningkatan kerja sama dan harmonisasi antar pemerintah pusat dan daerah dalam hal perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan daerah transmigrasi. Selain itu, sinergitas juga harus mempertalikan pucuk pimpinan pemerintahan tertinggi di pusat hingga yang terendah di daerah --pemangku adat dan tokoh masyarakat-- untuk kepentingan penyediaan dan status kepemilikan lahan.

Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya.

2. Peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah.

3. Memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

Seperti dilansir situs kemenkeu.go.id, transmigrasi pertama saat itu memberangkatkan 25 Kepala Keluarga (KK) atau dengan total 98 orang. Lokasi awalnya saat itu di Lampung sebanyak 23 KK dan ke Lubuk Linggau 2 KK.

Istilah transmigrasi pertama kali dikemukakan oleh Presiden Sukarno pada 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia. Kemudian dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, 3 Februari 1946, Wakil Presiden Hatta menyebut pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Jawa. 

Program transmigrasi yang digelar pada tahun 1950 itu sebenarnya melanjutkan program yang sudah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905. Pada saat itu pemerintah Belanda menyebutnya kolonisasi. 

Seperti ditulis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia dalam Transmigrasi Masa Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan (2015), dijelaskan bahwa program kolonisatie atau transmigrasi pada 1905 pertama digelar untuk 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu. Mereka dikirim ke Gedongtataan, Lampung. 

Selanjutnya, pada tahun 1912, sebuah permukiman kembali dibuka di dekat Kota Agung. Sampai dengan 1930-an, upaya untuk melakukan perpindahan yang disponsori Pemerintah Belanda terus berlangsung.

Sebagian besar keluarga transmigran bekerja di sektor perkebunan. Sampai dengan 1940-an telah dipindahkan kira-kira 200.000 penduduk dengan bantuan Pemerintah Belanda sebagai salah satu kebijakan kolonisasi. Program tersebut sempat dihentikan ketika Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942. Namun setelah merdeka, pemerintah melanjutkan kembali program tersebut seperti sudah dijelaskan sebelumnya.

Banyak gagalnya

Presiden Sukarno awalnya punya ambisi besar dalam program ini. Seperti dijelaskan Rohani Budi Prihatin dalam tulisannya "Revitalisasi Program Transmigrasi" yang dimuat Jurnal Aspirasi (2013) pada tahun 1947, Sukarno punya target untuk memindahkan 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun.

Pada tahun 1951 target itu ditambahkan jadi 49 juta orang. Namun karena politik dan ekonomi saat itu tengah gonjang-ganjing, maka program transmigrasi "saat itu tidak memungkinkan," tulis Rohani. 

Kegagalan program transmigrasi pada tahun 1950-an ini akhirnya menyadarkan pemerintah untuk membuat target yang lebih realistis. Pada tahun 1961-1969, pemerintah hanya menetapkan target 1,56 juta orang.

Pada kenyataannya, target itupun tidak terpenuhi karena total jumlah transmigran pada kurun waktu tersebut hanya 174.000 orang. Masih menurut Rohani, pencapaian tersebut bisa dibilang gagal. "Jika diukur dengan parameter kuantitatif, maka program transmigrasi antara tahun 1950-1960-an dapat dikategorikan gagal," sebutnya.

Berlanjut

Walaupun program transmigrasi banyak gagal pada pemerintah Sukarno, rezim Orde Baru tetap melanjutkan kembali program tersebut dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun yang Pertama (Repelita I). Pada era Orde Baru, program transmigrasi tampak lebih menitikberatkan pada pembangunan wilayah di luar Jawa daripada mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. 

Program transmigrasi terus berlangsung dan terus beradaptasi dengan segala tantangannya. Selain terkait dengan perkembangan politik seperti otonomi daerah, tantangan juga muncul seiring dengan perkembangan negara kita yang dilanda krisis ekonomi. Saat krisis ekonomi melanda di era transisi orde baru ke orde reformasi, program transmigrasi juga ikut tersendat. 

Berbagai gejolak ekonomi, sosial, dan politik menyebabkan program transmigrasi seakan dikesampingkan. Ya, walaupun pada akhirnya masih dipertahankan dan tetap berlangsung hingga saat ini. Namun, program transmigrasi akhir-akhir ini mengalami perkembangan paradigma.

Padahal, semula transmigrasi hanya fokus pada pemerataan jumlah penduduk, menjadi bagian integral dari pembangunan daerah, dan penyelenggaraannya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah, serta mengharuskan implementasi transmigrasi lebih berwawasan kultural dan kearifan lokal. 

Transmigrasi di zaman Belanda (Commons Wikimedia)

Transmigrasi dewasa ini tertuang dalam target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah menetapkan 144 kawasan transmigrasi, yang terfokus pada 72 satuan pemukiman (SP) dan 20 kawasan perkotaan baru (KPB).

Menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo periode pemerintahan lalu, tantangan transmigrasi sekarang berbeda. Ada masalah baru dalam menjalankan program ini.

"Ternyata pendatang atau transmigran lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan masyarakat lokal. Akhirnya, masyarakat lokal ketinggalan. Nah, kita tidak mau itu terjadi karena bisa menimbulkan kesenjangan sosial,” kata Menteri Eko di Jakarta, 25 Oktober 2018 dilansir katadata.co.id.

Untuk mengantisipasi hal itu, Kemendes merevitalisasi kawasan transmigrasi. Seluruh kawasan transmigrasi dan sekitarnya harus sama-sama tumbuh dan sejahtera. Caranya, antar lain dengan mengembangkan Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades).

Menteri Eko meminta setiap desa termasuk kawasan transmigrasi, mengajukan minimal tiga produk unggulan untuk dikembangkan di daerah itu. Minat warga untuk mengikuti program ini cukup banyak. Namun, mereka yang daftar harus antre saking banyaknya, terutama peminat dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Warga yang mengikuti program transmigrasi akan diberikan fasilitas berupa rumah hunian, tanah dua hektare, dan sarana pasca panen. Kendati program transmigrasi di awal sempat banyak menemui kegagalan, dan banyaknya rintangan dalam menjalankannya, program yang telah dilaksanakan sejak 1950-an ini telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi luar Jawa.

Per 2018, menurut data Kemendes, program ini berhasil membangun 1.183 desa definitif di luar Pulau Jawa, 385 kecamatan, 104 kota/kabupaten, 48 kota terpadu mandiri, serta dua ibukota provinsi. Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara menjadi contoh keberhasilan transmigrasi, karena dua provinsi ini lahir dari adanya program tersebut.