Bagikan:

JAKARTA - Eksistensi batik dirintis banyak tokoh. Salah satunya Ali Sadikin. Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) ingin batik menggantikan setelan Barat mahal yang identik dengan zaman penjajahan Belanda. Batik dijadikan medium perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Batik dianggap pakaian resmi semua kelas sosial.

Penjajahan Belanda menjadi gerbang masuknya budaya Eropa ke Nusantara. Budaya Eropa tak saja identik dengan membawa gaya arsitektur tapi juga dalam hal gaya berpakaian. Gaya berpakaian ini yang sering dipolitisasi Belanda. Lewat gaya berpakaian, pemerintah Kolonial mencoba membedakan kelas mereka dengan orang Tionghoa, Arab, hingga bumiputra.

Karena itu muncul standar baru. Barang siapa yang menggunakan setelan Eropa (jas, celana panjang, dasi kupu-kupu dan lain-lainnya) dipandang memiliki hak istimewa khas warga kelas satu. Pun Raja Jawa Amangkurat II hingga priayi kemudian keranjingan menggunakan setelan Barat.

Budaya menggunakan setelan barat bahkan hadir hingga Indonesia merdeka, hingga Orde Baru (Orba). Di awal era Orba, setelan Barat masih jadi primadona. Sementara Batik justru jadi pakaian yang tak dianggap. Penuturan itu disampaikan sendiri oleh pengusaha era Orba Abdul Latief.

Ia ingat sekali masa-masa dirinya masih bekerja di toserba Sarinah. Salah satu momen paling menarik adalah saat dirinya satu lift dengan Ali Sadikin. Gubernur Jakarta itu tampak keren dengan memakai pakaian favoritnya baju barong tagalong Filipina. Latief kemudian mencoba menegur Ali Sadikin.

“Bang Ali kenapa memakai pakaian tradisional Filipina, tidak pakai pakaian nasional Indonesia?” seru Latief.

Ali Sadikin spontan menjawab, “Apakah saya harus pakai sarung?”

“Kan ada batik?” tambah Latief.

“Kamu pikir saya perempuan, disuruh pakai batik dan kebaya?” tegas Ali Sadikin.

Ali Sadikin mengenakan batik (Sumber: Perpusnas.go.id)

Percakapan antara Ali dan Latief sedikitnya menunjukkan citra batik pada 1967. Namun, Latief tak kehilangan akal. Dia langsung mengajak Ali Sadikin untuk mencarikan pakaian resmi yang pas dan produksi nasional.

Kebetulan, dalam satu lift hadir juga pejabat lainnya seperti Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Joop Ave. upaya kolaborasi itu bertujuan untuk mencari cara supaya batik naik kelas. Lebih lagi, supaya batik tampak mentereng digunakan pria dan wanita.

“Kemudian, Ibu Saridjah Niung Bintang Soedibio, yang populer dengan panggilan lbu Sud, pencipta lagu anak-anak dan juga seniman batik, membuatkan batik khusus untuk Bang Ali. Ternyata Bang Ali senang."

"Pada. suatu acara khusus dia datangi Latief sambil berkata, ‘Keren tidak batik saya?’ Latief menjawab, ‘Wow keren banget!’ Ketika berpidato pada acara itu, Bang Ali mengumumkan bahwa pada setiap acara resmi Pemda DKI harus memakai pakaian resmi batik,” tulis Syafrizal Dahlan dalam buku Abdul Latief: Bangkitnya Enterprenur Nasionalis (2017).

Pahlawan batik

Ali Sadikin mengenakan batik (Sumber: Perpusnas.go.id)

Gagasan Ali Sadikin menjadikan Batik sebagai pakaian nasional tak cuma berasal dari satu alasan. Dalam fakta lainnya, Ali Sadikin telah mengamati bahwa tak semua atau sedikit sekali pegawai pemerintah DKI Jakarta yang bisa membeli setelan Eropa (jas komplit dan dasi) karena mahal.

Lagi pula, udara di Jakarta sangat panas. Alhasil, penggunaan setelan eropa dikatakan Ali Sadikin tidak cocok. Pun di belahan Asia sendiri telah banyak negara yang bangga dengan pakaian nasionalnya sendiri.

Di Filipina kaum laki-lakinya biasa menggunakan pakaian nasional bernama barong. Kaum wanitanya juga mengenakan pakaian khas mereka dengan penuh kebanggaan.

Negara berpenduduk terbanyak kedua, India pun sama. Orang India tampak bangga dengan pakaian nasionalnya. Sehingga tiada alasan lagi bagi Ali Sadikin untuk menjadikan batik sebagai pakaian nasional.

“Aku jadi bertanya-tanya mengapa di Indonésia memakai jas diharuskan untuk menghadiri acara resmi, padahal jas bukan pakaian yang cocok dengan iklim khatulistiwa yang panas."

"Gubernur Ali Sadikin membuat peraturan yang membolehkan orang mengenakan batik (lengan panjang) untuk menghadiri acara-acara resmi. Tetapi peraturan itu belum jadi peraturan nasional,” tutur budayawan, Ajib Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah (2008).

Kemeja lengan panjang yang dimaksud oleh Ali Sadikin, antara lain cara memakainya tak dimasukkan ke dalam lingkaran pinggang celana, melainkan harus lepas di luarnya. Selain itu terdapat tiga buah saku: dua di bawah, satu di atas.

Ali Sadikin mengenakan batik (Sumber: Commons Wikimedia)

Pendek kata, kemeja panjang lengan panjang jadi senilai dengan pakaian sipil lengkap. Demikian pula dengan kemeja batik lengan pendek yang dapat digunakan dalam aktivitas informal.

“Kelanjutan keputusan saya sebagai gubernur menetapkan kemeja batik lengan panjang sebagai pakaian resmi itu adalah bahwa pakaian seperti itu bisa diterima oleh masyarakat untuk pergi ke resepsi-resepsi, ke perkawinan dan sebagainya. Malahan para diplomat asing pun memakainya untuk pertemuan-pertemuan yang cukup meminta kesopanan,” ujar Ali Sadikin ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Buahnya, gagasan Ali Sadikin menjadi populer. Batik perlahan-lahan menjadi busana nasional. Berkat Ali Sadikin pula permintaan akan batik lengan panjang pada berbagai daerah meningkat.

Produsen-produsen batik daerah lalu berlomba-lomba untuk membuat pakaian batik lengan panjang dan pendek yang bagus. Tak hanya itu, Ali Sadikin meneruskan gagasan populernya dengan menetap batik sebagai salah satu seragam sekolah di Jakarta.

“Demi menjaga eksistensi batik, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 14 Juli 1972 menetapkan batik sebagai pakaian resmi untuk pria di wilayah DKI Jakarta. Ketetapan ini diambil sebagai usaha nyata untuk mendorong industri batik. Ali Sadikin berucap: batik itu khas dan tradisional pakaian nasional.”

“Batik kemudian menjadi pakaian resmi secara nasional, antara lain dengan dipakainya batik oleh pegawai Istana Negara pada acara Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1972. Setahun kemudian, pada 1973, Bang Ali menetapkan batik sebagai salah satu pakaian seragam pelajar di Jakarta."

"Pemerintah DKI Jakarta lalu mengadakan karnaval batik bagi pelajar SD, SMP, dan SMA se-DKI Jakarta. Beragam model pakaian berbahan batik yang dikenakan pelajar melenggang di jalan utama Jakarta,” tutup Chris Pujiastuti dalam tulisannya di Harian Kompas, Bang Ali dan Demam Batik (2017).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya