JAKARTA - Penyebutan orang asing sebagai “bule” telah mengakar di Indonesia. Mereka yang berciri fisik jasmaniah berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut pirang maupun putih lekat diidentifikasi sebagai bule. Apalagi, jika orang tersebut berasal dari Eropa maupun Amerika, maka paripurnalah status bule mereka.
Uniknya, di lapangan, sapaan ini justru menuai prokontra dari mereka yang tergolong ras kaukasoid. Ada yang merasa terganggu dengan panggilan bule, serta ada yang nyaman-nyaman saja dipanggil bule. Saking nyamannya, sampai-sampai ada anggapan istilah tersebut sebagai sebuah keunikan yang hanya didapat kala berkunjung ke Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Kami menghubungi seorang warga Prancis, David Joaquin, yang sering bolak-balik berlibur ke Bali. Ia mengaku keberatan dengan sebutan bule. Ia merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dan ia tahu, dalam kamus, bule mengandung arti sebagai: orang yang putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen; balar.
Selain itu, ia juga paham, penyebutan bule lekat dengan hewan kerbau albino. “Sekali dua kali memang lucu. Tapi, lama-kelamaan, saya merasa tak nyaman. Setahu saya, istilah bule itu berarti kerbau bule albino yang sakit dan saya jelas tak setuju jikalau ada yang menyebut saya bule,” ungkapnya saat dihubungi VOI, 14 Juni.
Berbeda dengan David. Keri, wisatawan asal Swiss yang sering main-main ke Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) justru malah menganggap penyebutan kata bule kepada orang Eropa atau orang yang datang dari luar Indonesia sebagai bagian dari keunikan khas Indonesa.
“Sejauh ini, panggilan bule bagi saya tidak masalah. Saya pun tidak merasa risih akan hal itu, terutama saat saya disapa oleh orang Indonesia ketika di jalan, tempat wisata, maupun hotel. Toh, orang Indonesia terkenal baik dan ramah. Jadi, selama mereka sopan dan menghargai saya, maka dengan senang hati saya menerima panggilan tersebut,” ucap wanita 32 tahun tersebut.
“Untuk itu, saya nyaman-nyaman saja. Malah, kadang-kadang lucu disebut bule. Sebab, di Eropa kita tidak dipanggil bule. Tetapi, pas main ke Indonesia kita baru merasakan disebut bule,” tambahnya.
Dalam perjalanannya, istilah bule tak hanya mengidentifikasikan mereka yang berkulit putih dan terlahir di Eropa maupun Amerika saja. Mereka yang berasal dari Afrika, Arab, India, maupun Thailand dapat digolongkan sebagai bule.
Namun, istilah ini tak akan berlaku bagi mereka yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Brunei. Alasannya, tentu saja karena mereka masih tergolong orang Melayu yang notabene mirip dengan orang Indonesia umumnya.
Asal-usul kata 'bule'
Jauh sebelum kata bule populer, orang Indonesia umumnya mengeneralisir penyebutan orang asing sebagai kompeni ataupun londo. Kata 'kompeni' sendiri berasal dari kesalahan orang Indonesia dalam melafalkan nama kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Oleh karenanya, yang paling banyak diingat hanya baris terakhir, yakni 'compagnie', yang lama-kelamaan lidah Nusantara mulai menyerap kata tersebut menjadi 'kompeni'. Londo pun begitu, asal kulit putih mereka disebut londo.
Untuk itu, dapat dipastikan kata bule tak eksis sepanjang masa penjajahan Belanda, mengingat banyak di antara kaum bumiputra banyak memanggil orang asing atau Eropa dengan sebutan Tuan. Panggilan itu, sebagaimana kolonialis-kolonialis Belanda umumnya minta dipanggil.
Menariknya, seorang Peneliti bernama Benedict Anderson, dalam biografi singkatnya berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), mengungkap sebutan tuan untuk mereka yang berkulit putih agak tidak nyaman di telinga. Atas dasar itu, dirinya kemudian mengganti istilah tuan dengan suatu kata yang agak nyaman didengar, yakni 'bule'.
“Gara-gara ini, saya pun jadi punya kontribusi kecil (tapi awet) dalam bahasa Indonesia. Melihat warna kulit saya yang tidak putih, tetapi merah muda kelabu, saya merasa warna ini mendekati warna kulit hewan albino (kerbau, sapi, gajah, dll) yang oleh orang indonesia diistilahkan “bulai” atau “bule”. Jadi, saya beritahu kawan-kawan muda saya harus disebut bule, jangan putih.”
Lantas, dikisahkan, teman-teman Ben menyukai ide tersebut dan menyebarkannya. Otomatis, Koran-koran dan majalah mulai banyak menuliskan identitas orang asing berkulit putih sebagai bule. Lama-kelamaan pun istilah tersebut menjadi bagian dari bahasa Indonesia sehari-hari.
Tak hanya itu, Ben juga bercerita bahwa setelah lebih dari sepuluh tahun sesudahnya, seorang kolega “kulit putih” Australia mengiriminya sepucuk surat berisi omelan tentang betapa rasisnya orang Indonesia yang menyebut mereka bule. Mudah saja bagi Ben menjawab. Temannya itu, diminta berkaca untuk melihat kulitnya sendiri dan menanyakan diri sendiri, apa benar ia ingin dipanggil tuan?
“Saya juga memeberitahukan bahwa sayalah yang mempopulerkan makna baru bagi istilah itu pada 1962 atau 1963. Ia ogah memercayai saya, maka saya bilang, 'Kau kan sejarawan, ahli sejarah Indonesia yang berpengalaman. Berani taruhan 100 dolar, kau tak akan bisa mendapati kata bule dalam arti orang kulit putih, dalam dokumen apapun sebelum 1963. Ia tak berani bertaruh,” ucap Ben berkalakar.
Setali dengan kelakar Ben, untuk mendapatkan gambar lebih jelas terkait asal-usul bule, kami menghubungi Dosen Pendidikan Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih. Baginya, boleh saja Ben mengklaim sebagai penemu istilah bule, tapi dirinya bersikukuh kebenaran hal itu sulit dilacak.
“Kalau tentang ini, boleh jadi. Namun, selama saya pahami di Jawa, umumnya generasi sepuh (tua) lebih mengenal istilah “landa” untuk menyebut orang-orang yang kemudian diidentifikasi sebagai “bule”. Generasi yang barangkali lahir setelah tahun 1960-an, 1970-an, paling banyak 1980-an bahkan generasi kekinian lebih mengenal dan akrab menggunakan kata 'bule' untuk menyebut orang-orang asing yang berciri kulit putih, berambut putih hingga pirang, dan berwarna mata biru,” ucap Dimas saat dihubungi VOI, Sabtu, 13 Juni.
BACA JUGA:
Tak heran, dimas menegaskan, kemunculan istilah “bule” patut diduga berkaitan dengan masalah rasial. Dalam hal ini, rasial yang dimaksud ialah terkait konsepsi tentang ras manusia, yang lekas menjadi minat penting dan utama dalam diskusi-diskusi pelajar antropologi.
“Oleh karena itu, dalam kajian antropologi, diskusi-diskusi ras beserta persebaran mereka di seluruh penjuru dunia menjadi minat utama bagi pelajar di bidang antropologi ragawi (physical/biological anthropology). Walaupun kemudian di bidang budaya (cultural anthropology) pun pada akhirnya juga tertarik pada bahasan ras, manakala konsepsi biologis tersebut memiliki efek terhadap cara pandang dan kemudian lambat lain menjadi steorotip dan lebih lagi sebagai gaya hidup,” imbuh Dimas.
Dalam perkembangannya, kata bule memang menuai pro-kontra. Satu sisi, orang asing beranggapan penyebutan bule condong ke arah ejekan atau olokan. Sisi lainnya, khususnya orang Indonesia sendiri menganggap kata bule memiliki nilai gengsi.
“Sehingga bisa dilihat gejalanya secara sosial, tak jarang kita bangga jika bisa berkenalan atau memiliki teman bule. Bahkan ada orang kita yang terobsesi untuk mendapatkan pacar atau lebih dari itu, menjalin hubungan serius menuju jenjang pernikahan dengan menjatuhkan pilihan hidupnya kepada bule,” tutup Dimas.