JAKARTA - Tengah malam, 1 Juli 1997, Hong Kong kembali ke pemerintahan China. Kembalinya Hong Kong ditandai dalam sebuah upacara yang dihadiri Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, Pangeran Charles, Presiden China Jiang Zemin dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Madeleine Albright.
Bukan disambut sukacita dan aksi damai, beberapa ribu warga Hong Kong justru protes. Di lain sisi, tak sedikit propaganda yang disebarkan otoritas di Beijing untuk menunjukkan kesan bahwa Hong Kong kembali ke "rumah".
Mengutip History, Hong Kong pertama kali berada di bawah kekuasaan China selama Dinasti Qin pada abad ketiga SM. Hong Kong terus menjadi bagian dari Kekaisaran China selama sekitar 2.000 tahun.
Tetapi antara 1842 dan 1898, Kerajaan Inggris secara bertahap menguasai tiga wilayah utama yang membentuk Hong Kong modern. Tiga wilayah itu adalah Pulau Hong Kong, Semenanjung Kowloon, dan Wilayah Baru.
Pada 1841, China menyerahkan Pulau Hong Kong kepada Inggris dengan penandatanganan Konvensi Chuenpi dan pada 1842, Perjanjian Nanking ditandatangani. Secara resmi penandatangan konvensi itu mengakhiri Perang Candu Pertama.
Hong Kong di bawah Inggris
Di bawah Inggris, Hong Kong berkembang jadi pusat perdagangan Timur-Barat. Kontrol Hong Kong memberi Inggris akses lebih baik ke perdagangan China. Semangat untuk lebih berkuasa, perang kembali pecah antara China-Inggris pada 1856 dan memicu Perang Candu Kedua dan berakhir pada 1860.
Pada 1 Juli 1898, Kerajaan Inggris merundingkan Konvensi Kedua Peking dengan China. Inti konvensi itu, Inggris diperbolehkan menyewa Wilayah Baru antara Boundary Street dan Sungai Shenzhen.
Wilayah itu terletak di garis pemisah antara China Daratan dan Hong Kong. Waktu sewa akan berakhir dalam 99 tahun, yang berarti China menginginkan Hong Kong kembali pada 1 Juli 1997.
Selama Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang secara singkat menginterupsi kontrol Inggris ketika menduduki Hong Kong. Setelah perang, negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika memperoleh kemerdekaan dari kendali Jepang dan Eropa.
Tetapi Inggris terus menguasai Hong Kong, salah satu wilayah kolonial besar terakhirnya. Pada 1982, dengan tanggal berakhirnya sewa Inggris atas Wilayah Baru, para pemimpin Inggris dan China bertemu untuk merundingkan transisi.
Karena perjanjian sewa pada 1898 tak berlaku bagi Pulau Hong Kong dan Semenanjung Kowloon di selatan Boundary Street, Inggris dapat mencoba bernegosiasi untuk mempertahankan wilayah tersebut. Meski demikian, PM Inggris saat itu Margaret Thatcher merasa kedua wilayah itu tidak bisa berdiri sendiri.
Akhirnya Inggris memutuskan bahwa ketika tenggat waktu tiba, mereka akan menyerahkan seluruh Hong Kong ke China. Apakah masyarakat Hong Kong mendukung penyerahan itu bukan bagian dari diskusi.
Deklarasi bersama China-Inggris
Pada 1984, Inggris dan China menandatangani Deklarasi Bersama China-Inggris yang menguraikan rencana untuk Hong Kong. Deklarasi ini menetapkan Hong Kong akan menjadi bagian dari China pada 1 Juli 1997.
Tetapi "sistem sosial dan ekonomi saat ini” dan “gaya hidup” di Hong Kong akan tetap sama selama 50 tahun ke depan. Dalam pengaturan “satu negara, dua sistem” ini, Hong Kong akan terus beroperasi dalam ekonomi kapitalis dan penduduk akan terus memiliki hak untuk berbicara dan keyakinan agama, setidaknya hingga 2047.
Meski demikian, pada kenyataannya sebelum 2047 pun China sudah mulai "mengekang" Hong Kong. Pada 2019, protes pecah atas rancangan undang-undang (RUU) Keamanan Nasional yang menurut banyak penduduk Hong Kong melanggar pengaturan “satu negara, dua sistem."
RUU itu memungkinkan pihak berwenang memungkinkan untuk melakukan ekstradisi dari Hong Kong ke yurisdiksi mana pun yang belum memiliki perjanjian, termasuk China daratan. Aksi-aksi demonstrasi masyarakat Hong Kong justru membuat pemerintah China semakin kuat mengaplikasikan aturannya.
Pada 30 Juni 2020, UU Keamanan Nasional diberlakukan, sehari sebelum peringatan penyerahan Hong Kong oleh Inggris. Secara dramatis, pemberlakuan UU memperluas kekuasaan otoritas China untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum pembangkang.
UU Keamanan Nasional untuk Hong Kong banyak dikritik oleh anggota parlemen oposisi di Hong Kong, kelompok hak asasi manusia dan politisi di seluruh dunia. Banyak yang khawatir UU tersebut akan digunakan untuk menargetkan para pembangkang politik, aktivis, pengacara hak asasi manusia dan jurnalis.
Para pengkritik juga berpendapat bahwa UU tersebut bisa mengarah pada apa yang oleh beberapa orang gambarkan "penculikan yang dilegalkan." Masyarakat Hong Kong generasi muda terus menyatakan keprihatinan tentang seperti apa kehidupan di Hong Kong pada 2047 nanti.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.