Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 10 tahun yang lalu, 6 Januari 2015, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) gelorakan bajaj butut oranye bahan bakar bensin bisa ditukar bajaj listrik. Program itu akan dilangsungkan sebagai bentuk peremajaan dari bajaj butut yang mengganggu pemandangan di Jakarta.

Sebelumnya, bajaj butut jadi andalan warga Ibu Kota wara-wiri. Harga murah dan mudah beroperas di lingkungan padat penduduk jadi keungulannya. Namun, bukan berarti bajaj butut tak punya masalah. Bajaj dari angkutan umum yang berisik dan bikin polusi.

Bajaj pernah menjadi alternatif transportasi umum yang cepat dan murah. Bajaj dianggap mampu menarik minat warga Jakarta karena bentuknya yang ramping. Transportasi umum itu mampu menjelajahi kawasan padat penduduk yang notabene tak bisa diakses angkot atau bus.

Biayanya yang murah jadi keunggulan lainnya. Penggemar bajaj bejibun. Namun, bukan berarti bajaj hadir tanpa masalah. Transportasi yang sedari 1970-an telah beroperasi itu membawa masalah baru. Bajaj-bajaj yang ada mulai butut.

Belakangan warga Jakarta mulai terganggu dengan asap hitam yang mengepul dari bajaj. Suara mesinnya berisik pula. Sederet hal itu mengganggu kenyamanan pengguna transportasi lainnya di jalanan.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta era 2014-2017. (ANTARA)

Pemerintah pun mulai terganggu dengan kehadiran bajaj butut. Empunya kuasa mencoba mencari solusi supaya masalah bajaj butut terselesaikan. Pemerintah mulai mengeluarkan opsi lain dari kendaraan angkut cilik pada 2004.

Pemerintah coba menghadirkan mobil kancil. Opsi itu dianggap mampu menjawab tantangan zaman dan mengganti bajaj butut. Masalah muncul. Kancil harganya relatif mahal. Kondisi itu membuat bajaj butuh dianggap paling masuk akal. Sekalipun masalahnya bejibun.

Pemerintahan Gubernur Sutiyoso pun sempat menggelorakan peremajaan bajaj dengan menghadirkan bajaj bahan bakar gas (BBG). Lagi-lagi opsi itu tak banyak diminati karena banyak yang merasa bajaj oranye masih dianggap lebih murah perawatan dan setorannya.

"Menunggu fasilitas siap, bisa pakai BBM. Kendaraan itu didatangkan dari India sudah dengan perangkat yang dapat menggunakan gas dan minyak tinggal memindahkan (switch) tombol saja untuk penggunaan BBM empat tak menjadi BBG,” ujar Sutiyoso dikutip laman ANTARA, 17 Februari 2006.

Ide Sutiyoso melakukan peremajaan dengan bajaj BBG tak banyak diminati. Sebab, pengemudi bajaj harus pula membayar untuk membeli satu unit bajaj BBG. Kondisi itu membuat masalah bajaj tak terselesaikan. Gubernur DKI Jakarta pun berganti-ganti masalah peremajaan bajaj tak kunjung selesai.

Keseriusan urus bajaj muncul kala Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta. Ahok mendukung penuh bajaj listrik jadi pengganti bajaj butut berbahan bakar bensin. Dukungan itu tak cuma sekedar lip service belaka. Ahok langsung gelorakan bajaj butut ditukar dengan bajaj listrik pada 6 Januari 2015.

Pengemudi bajaj dianggap Ahok akan mengalami keuntungan, sekalipun bayar. Mereka tak perlu bayar ekstra untuk bensin. Bajaj tinggal bawa pulang ke rumah dan colok listrik. Bahan bakar penuh lalu bajaj bisa kembali beroperasi. Opsi itu dapat membantu Jakarta mengurangi polusi.

"Asal dia tunjukkan bajaj lamanya, kita kasih izin dia beli (bajaj listrik). Jadi ini hanya boleh satu tukar satu nih, bajaj lama mesti dihancurin. (Bajaj listrik) ini oke, ya luar biasa terobosan ini. (Kalau pengemudi tidak mau membeli bajaj listrik) kita enggak bisa maksa.”

“Tapi secara logika, pasti mau dong. Ini Rp 40 juta, kalau yang BBG Rp 75 juta, bajaj merah Rp 50 juta. Mendingan yang listrik kan, pulang ke rumah nyolok dan tidur," ujar Ahok sebagaimana dikutip laman Detik.com, 6 Januari 2015.