Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 68 tahun tahun yang lalu, 9 Agustus 1956, ribuan wanita –kulit hitam hingga berwarna-- di Afrika Selatan turun berdemonstrasi di Union Buildings di Pretoria memprotes Undang-Undang Apartheid. Mereka tak ingin lagi manusia dibeda-bedakan berdasarkan warna kulit.

Sebelumnya, penjajahan membawa noda kotor dalam sejarah bangsa Afrika Selatan. Kehadiran kebijakan apartheid jadi wujudnya. Kebijakan membuat kaum kulit putih membedakan hak yang didapat oleh kulit hitam.

Diskriminasi ras dan etnis (rasisme) tak pernah mudah dilupakan dalam ingatan sejarah. Afrika Selatan pernah merasakannya. Dulu penjajah kaum kulit putih (Inggris) rasis memilih menghimpun diri dalam Partai Nasional Afrika pada 1948.

Mereka bercita-cita ingin membawa Afrika ke arah baru. Alih-alih pikirannya mulai terbuka dengan perbedaan, mereka justru membawa Afrika Selatan jadi negara kaum kulit putih. Kebijakan itu dikunci dengan pengesahan Undang-Undang Apartheid.

Imbasnya ke mana-mana. Kaum kulit hitam dan berwarna lainnya tak dianggap sebagai warga negara. Hak-hak politiknya dilanggar. Hak asasinya pun sama. Antara kaum kulit putih dan hitam dibedakan dalam banyak hal. Gaji yang jauh berbeda. Bahkan toilet saja sampai beda.

Aksi demonstrasi wanita Afrika Selatan tolak apartheid pada 1956. (Halaman Facebook US Embassy South Africa)

Kaum kulit putih bak jijik dengan kulit hitam. Kebiadaban itu terus berlanjut. Barang siapa yang mencoba melarang atau menolak Aparheid akan diganjar oleh hukuman. Kondisi itu membuat gelora protes dari kaum kulit hitam meletus. Perlawanan muncul di mana-mana.

Pemerintah kulit putih tak tinggal diam. Mereka lebih memilih memberantas pejuang kaum kulit hitam. Mereka yang ditangkap pun tak sedikit. Mereka terus bersuara supaya mendapatkan hak hidup setara.

“Seorang Afrika (pribumi) dilarang melakukan kerja yang memerlukan kecakapan, dalam industri bangunan di kota manapun yang untuk orang kulit putih. Seorang kulit putih yang beberapa jam dalan seminggu di rumahnya sendiri menggunakan waktunya untuk mengajar pelayannya yang berkulit hitam supaya bisa membaca, dianggap bersalah melakukan kejahatan kriminal.”

"Siapa saja yang menyediakan pendidikan khusus untuk anak-anak Afrika yang cacat, tanpa persetujuan Menteri Pendidikan, dianggap bersalah melakukan kejahatan kriminal. lzin tak akan diberikan kepada orkes orang kulit putih untuk mengiringi paduan suara orang-orang Afrika yang mengadakan pertunjukan, meskipun para penonton yang putih dengan yang hitam sudah dipisahkan,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Kejahatan Menurut Apartheid (1976).

Gelora aksi menentang apartheid tak melulu punya kaum laki-laki saja. Kaum wanita pun turut melakukan penolakan. Puncaknya terjadi pada 9 Agustus 1956. Puluhan ribu (diyakini sebanyak 20 ribu) kaum wanita – kulit hitam, kulit putih, dan kulit berwarna—menggelar aksi demonstrasi di Union Bulidings di Pretoria.

Mereka datang untuk memprotes apartheid. Kaum wanita yang datang pun menunjukkan identitasnya. Ada pekerja dan ada juga ibu rumah tangga sambil menggendong anak di punggung. Mereka mengenakan berbagai macam gaun.

Aksi itu kemudian membuat nyanyian Wathint' abafazi, wathint' imbokodo (Anda Memukul Seorang Wanita, Anda Memukul Sebuah Batu) bergema di jalan-jalan Pretoria. Nyanyian itu kemudian jadi lambang keberanian dan kekuatan para wanita Afrika Selatan.

“Sejak demonstrasi tersebut frasa ‘Pukul wanita, pukul batu’ telah mewakili keberanian dan kekuatan wanita. Pawai tersebut akhirnya menunjukkan bahwa stereotip tentang wanita yang tidak kompeten secara politik dan tidak dewasa, yang terikat dengan rumah, sudah ketinggalan zaman dan tidak akurat,” tertulis dalam laporan laman Mail & Guardian berjudul The Rock Strikes Back (2006).