JAKARTA - Prancis pernah menjunjung tinggi perihal kebebasan beragama. Keinginan itu terlihat dari keseriusan tokoh politik memisahkan antara pemerintahan dan agama. Empunya kuasa tak ingin ada suatu agama yang dominan dalam pemerintahan.
Negeri Mode itu lalu mengenalkan asas Laicite-- sekulerisme sebagai sebagai identitas nasional. Namun, asas itu justru diganggu oleh kebijakan pemerintah sendiri. Prancis resmi melarang penggunaan atribut agama di sekolah umum/negeri pada 2004 –utamanya hijab. Kebijakan itu datangkan banyak kecaman dari umat Muslim.
Dulu kala Prancis nyaris tak pernah bisa memisahkan antara pengaruh agama dalam kehidupan bernegara. Keputusan-keputusan penting negara kerap berasal dari restu gereja. Kondisi itu lama-lama mengganggu jalannya pemerintahan.
Kala itu sudah banyak suku bangsa dan agama jadi elemen penting rakyat Prancis. Upaya memaksakan keinginan gereja Katolik tentu bukan hal yang bijak. Kondisi itu memunculkan perdebatan besar. Hasilnya Prancis memilih bentuk pemerintahan yang sekuler – pisahkan pemerintahan dan agama.
Prancis lalu mengadopsi asas Laicitre pada 9 Desember 1905. Kondisi itu membuat Prancis tak lagi mengupayakan produk hukum yang berbau agama. Empunya kuasa dapat bebas merancang aturan yang sesuai kemaslahatan bersama.
Kondisi itu membuat pemerintah berada dalam pihak netral yang takkan berpihak kepada suatu agama apapun. Mereka tak pula mau mengatur agama. Kondisi itu membuat Negara hadir dalam melindungi kebebasan rakyat Prancis untuk menganut atau tidak menganut suatu agama.
Semuanya bermuara kepada kesatuan hidup di tengah keberagaman warga Prancis. Nyatanya semakin beragam kelompok masyarakat, tantangannya mulai bertambah. Belakangan kelompok Muslim mulai berdatangan ke Prancis.
Mereka hidup dan tinggal. Pun menggunakan fasilitas umum yang yang sama. Kondisi itu membuat kelompok Muslim bak ingin diperlakukan secara istimewa. Mereka dibiarkan menggunakan aksesoris agama dalam kegiatan sehari-hari. Kecemburuan sosial mulai muncul setelahnya.
BACA JUGA:
“Undang-undang tahun 1905 yang pertama kali menetapkan asas laïcité di Prancis adalah tentang jaminan kebebasan. Undang-undang ini menetapkan pemisahan gereja dan negara, kebebasan menjalankan agama oleh warga negara Prancis.”
“Penghormatan terhadap semua warga negara di hadapan hukum, apa pun keyakinannya. Sekularisme memaksakan kenetralan pada negara Prancis dan lembaga publik, tetapi tidak mengharuskan kenetralan pribadi dari warga negara,” ungkap Rokhaya Diallo dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul What has 20 Years of Banning Headscarves Done for France? (2024).
Larangan Atribut Agama di Sekolah
Kehadiran umat Muslim di Prancis bak fenomena baru. Mereka datang dari berbagai macam wilayah seperti Maroko, Aljazair, dan negeri-negeri Afrika yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka telah banyak jadi warga Prancis dan populasi umat Islam jadi kelompok terbesar kedua di negara sekuler itu.
Pengaruh itu membuat perubahan signifikan terkait pemahaman prinsip sekulerisme. Pemerintah Prancis bak mengingkari prinsip laicite. Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pelarangan hijab di sekolah-sekolah umum mulai dibahas dan diperdebatnya pada era 2000-an.
Parlemen Prancis pun melakukan pemungutan suara. Hasilnya anggota parlemen yang mendukung mencapai 494 suara. Sedang mereka yang tak setuju mencapai 36 suara. Hasilnya penggunaan hijab dan atribut keagamaan lain (salip, kopiah Yahudi, Kippa) dilarang digunakan di sekolah – SD, SMP, SMA.
Aturan itu mulai berlaku pada Maret 2004. Umat Muslim jadi kelompok yang bereaksi dibanding kelompok lainnya. Pemerintah Prancis dikecam bukan main. Kecaman itu bukan hanya hadir dari Muslim Prancis saja.
Kecaman hadir dari dalam pemerintahan sendiri. Menteri Luar Negeri Prancis, menyebut RUU yang kemudian jadi UU itu tak lebih dari penentangan hijab dan bukan lagi urusan sekulerisme.
“Meski demikian, sebagian besar dunia Muslim tetap yakin bahwa UU baru tersebut merupakan penghinaan yang tidak menyenangkan terhadap Islam. Argumen yang dikemukakan oleh pejabat Prancis sejak undang-undang tersebut disahkan pada bulan Maret, untuk melestarikan nilai-nilai Republik Prancis, belum dipahami.”
“Bahkan Menteri Dalam Negeri, Dominique de Villepin, yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri saat RUU tersebut disahkan, menentangnya. Ia meramalkan dengan tepat bahwa RUU tersebut akan dipandang sebagai tindakan menentang hijab, bukan tindakan mendukung sekularisme,” ujar Elaine Sciolino dalam tulisannya di The New York Times berjudul Ban on Head Scarves Takes Effect in France (2004).
Kecaman dari luar Prancis tak kalah besar. Aksi demonstrasi muncul di mana-mana. Reaksi paling diingat adalah dua jurnalis Prancis, Georges Malbrunot dan Christian Chesnot diculik di Irak –sekalipun kemudian dilepaskan. Kelompok penculik meminta pemerintah Prancis untuk mencabut tuntutan itu.
Pemerintah Prancis pun mengungkap supaya kelompok penculik tak ikut campur urusan negara. Empunya kuasa menegaskan bahwa mereka tak sedang berperang dengan Islam, tapi untuk kesetaraan dan keadilan bagi semua anak sekolah di Prancis.
Beda umat Islam. Beda pula umat Yahudi dan Kristen. Umat Yahudi tampak lebih santai mengomentari urusan pelarangan atribut agama Yahudi di sekolah-sekolah umum. Rabi Agung Prancis, Joseph Sitruk justru mendukung kebijakan itu. Ia mengaku tak masalah jika anak sekolah tak menggunakan kopiah Yahudi.
“Rabi agung Prancis, Joseph Sitruk telah mendukung larangan atribut agama, dan banyak orang Yahudi Prancis mengaku lega atas ditegakkannya sekularisme resmi -- yang secara historis telah menguntungkan orang Yahudi Prancis.”
“Orang Yahudi yang lebih muda mungkin merasa lebih Yahudi daripada orang tua mereka, tetapi bahkan putri dari penyanyi Brigitte Stora, Hanna, mengatakan dia percaya bahwa atribut keagamaan Yahudi adalah sesuatu yang dikenakan ke pesta, bukan ke sekolah,” tulis Fernanda Eberstadt dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul A Frenchman Or a Jew? (2004).
Bagi Prancis, begitulah cara terbaik mewujudkan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite: Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan.