JAKARTA - Kemarin, Minggu 19 Oktober, ribuan warga Prancis menggelar aksi solidaritas setelah seorang Guru sejarah Samuel Paty dipenggal oleh muridnya sendiri karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad. Warga yang menggelar aksi damai itu menuntut kebebasan berekspresi dan memberi dukungan kepada guru.
Melansir Reuters, 19 Oktober, Paty tewas di depan sekolahnya di pinggiran kota Paris oleh muridnya yang berusia 18 tahun. Awal bulan ini, guru tersebut telah menunjukkan kepada murid-muridnya kartun Nabi Muhammad di sebuah kelas tentang kebebasan berekspresi. Hal tersebut membuat marah sejumlah orang tua murid yang menganut Islam. Muslim percaya bahwa penggambaran Nabi Muhammad adalah bentuk penghujatan.
Tersangka yang diketahui berasal dari Chechnya itu lantas ditembak mati oleh polisi pasca penyerangan. Selain itu, aparat juga telah menahan 11 orang yang diduga terkait pembunuhan.
Kerumunan warga yang sebagian besar adalah seorang guru menyesaki jalan-jalan di Paris, Lyon, Marseille hingga Lille dengan tenang. Mereka berhenti secara teratur untuk bertepuk tangan, mengadakan menit hening atau menyanyikan lagu kebangsaan. Mereka juga mengatakan terkejut dan terpukul atas kasus tersebut.
“Sebagai guru taman kanak-kanak, saya datang ke sini untuk mempertahankan misi saya dalam mendidik, mengasah kemampuan berpikir kritis murid-murid saya,” kata salah seorang demonstran. "Ini membuat saya ingin mengajar lebih sering lagi. Akan ada sebelum dan sesudah peristiwa mengerikan ini."
Perdana Menteri Jean Castex langsung menggelar pertemuan di Place de La Republique di Paris bersama dengan Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer dan politisi dari seluruh faksi. Mereka menunjukkan solidaritas setelah pembunuhan yang mengejutkan negara itu.
“Kamu tidak membuat kami takut. Kami tidak takut. Kmau tidak akan memecah belah kami. Kami adalah Prancis!” kata Castex lewat akun Twitter-nya.
Menolak ekstrimis
Orang-orang di acara tersebut mengenakan masker untuk bagian dari protokol menekan penularan COVID-19. Para kerumunan juga membawa poster tulisan seperti "Mengajar ya, berdarah tidak" atau "Saya Charlie" mengacu pada majalah satir Charlie Hebdo, yang kantornya diserang dalam pembunuhan massal lima tahun lalu.
“Kami di sini untuk membela Republik, nilai-nilai Republik: kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, dan sekularisme. Kami dapat merasakan bahwa bangsa ini terancam,” kata Pierre Fourniou, salah satu peserta aksi di Paris.
BACA JUGA:
Paty sebelumnya juga telah menjadi target kemarahan di media sosial sebelum dibunuh. Castex mengatakan dalam sebuah wawancara di surat kabar Journal du Dimanche bahwa pemerintah sedang mengerjakan strategi untuk melindungi guru dari ancaman dengan lebih baik.
Kemarahan dan simpati juga mengalir dari luar negeri. Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam yang beranggotakan 57 negara mengutuk serangan tersebut. Mereka menegaskan kembali bahwa mereka menolak "semua bentuk ekstremisme, radikalisasi dan terorisme untuk alasan atau motif apa pun."