20 Maret dalam Sejarah: Sapardi Djoko Damono Lahir, Berpuisi, Lalu Mati dan Abadi
Sapardi Djoko Damono (Instagram/@damonosapardi)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Darmono lahir. Sapardi lahir di Surakarta, Jawa Tengah. Ia juga tumbuh dan besar di kota itu. Tahun lalu, Juli 2020, Sapardi meninggal. Meski begitu ia tetap sastrawan. Apa yang ia tulis membuatnya tetap hidup. Sapardi abadi.

Di Surakarta, Sapardi tak cuma lahir. Ia juga bertumbuh di sana, sejak SD hingga SMA, sebelum akhirnya Sapardi melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Bakat menulis Sapardi telah tercium sejak remaja. Di usia itu ia telah terbiasa menulis.

Sapardi bahkan mengirim tulisan-tulisannya ke banyak majalah. Kebiasaan itu berkembang saat Sapardi masuk jurusan Sastra Barat di bidang Bahasa Inggris. Sebelum menjadi penyair besar, Sapardi sempat jadi pengajar di IKIP Malang selama 1964 hingga 1968.

Sapardi juga pernah jadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah Horison pada 1974. Kemudian Sapardi kembali mengajar. Kali ini ia mengabdi diri di Universitas Indonesia (UI). Di UI, Sapardi juga sempat menjabat Dekan Fakultas Sastra periode 1995-1999.

Abadi karena sastrawan

Sapardi adalah sastrawan. Kalau kata Pramoedya Ananta Toer, siapapun yang menulis, maka ia abadi. Sapardi meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, Banten.

Segenap penikmat karyanya di seluruh pelosok Nusantara pun berduka atas kepergian sosok besar bagi perkembangan sastra di Indonesia. Izinkan kami mengutip ucapan Goenawan Mohamad saat Sapardi merayakan ulang tahun ke-77 pada 2017 lalu.

“Sapardi (sedang) merayakan kelahirannya kembali.”

Oleh sebab itu, boleh jadi Sapardi telah meninggal dunia. Namun, perginya Sapardi membuat karya-karya seakan terlahir kembali. Sebut saja sajaknya yang berjudul Hujan Bulan Juni (1994). Sejak hari kematiannya sajak tersebut acap kali memenuhi ragam lini masa di media sosial.

"Tak ada yang lebih bijak. Dari hujan di bulan Juli. Dihapusnya jejak-jejak kaki, yang ragu-ragu dijalan itu."

Penggalan sajak Hujan Bulan Juni membuktikan bahwa sajak yang liris, penuh perasaan nan sederhana benar-benar terlahir kembali. Mereka yang sudah berkali-kali jatuh cinta dengan sajak tersebut kemudian terpikat kembali dengan sajak-sajak Sapardi. Pantas saja, penyair Joko Pinurbo pernah berucap bahwa Sapardi tak ubahnya “salah satu rasul-rasul utama dunia puisi Indonesia.”

“Tema keseharian yang dipilih Sapardi menjadi kekuatannya. Karyanya tentang hujan, bunga jatuh, air selokan, bayangan, batu, pohon belimbing menunjukkan betapa dia akrab dengan suasana sehari-hari yang kerap dilupakan orang lain. ‘Saya menganggap orang dan benda itu sama,’ kata Sapardi. ‘Seperti anak kecil, benda saya anggap teman,” tulis Ninin Damayanti dalam tulisanya di Majalah Tempo berjudul Penyair Hujan dari Baturono (2010).

Ninin menambahkan Sapardi memang tak seperti penyair Chairil Anwar yang tiba-tiba bisa sangat mengejutkan karena menggunakan struktur kalimat yang tak lazim ata kata yang nyeleneh. Sapardi adalah Sapardi dengan puisinya yang bersahaja.

Sisi lain Sapardi

Kebanyakan khalayak mengenal sosok Sapardi sebagai bintang dunia persajakan. Padahal, dibalik puluhan buku sastra --yang sebagiannya kumpulan puisi-- seperti Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), hingga Mata Jendela (2002), Sapardi hidup dengan hobi-hobi yang lain.

Beberapa di antaranya adalah keluyuran dan bermain musik, khususnya gitar. Gambaran itu turut direkam Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006). Menurutnya, Sapardi merupakan seorang yang suka keluyuran, seperti ayahnya, Sadjoko. Dengan demikian, Kampung Ngadijayan dan sekitarnya, yang mana menjadi tempat Sapardi menghabiskan masa kecil, tak habis-habisnya dijelajahi oleh Sapardi.

Dalam aktivitas keluyuran itulah Sapardi menjadikan tempat persewaan buku sebagai tempat yang paling sering disinggahi untuk sejenak membaca. Kelak, aktivitas keluyurannya tersusun dalam dua lapis makna. Lapis yang pertama keluyuran dalam artian fisik, dengan berjalan kaki berpindah-pindah tempat dari satu area ke area lain.

“Keluyuran lapis kedua adalah penjelajahan pikiran melalui bacaan. Keluyuran dengan pikiran ini tampaknya juga disertai dengan ‘omong-omong’ dengan bahan bacaannya. Sebab, memang demikian adanya: membaca adalah kegiatan berdialog. Dalam membaca (Sapardi) tak hanya menyerap secara pasif apa yang dilihat oleh mata. Tetapi, juga dengan pertimbangan-pertimbangan,” imbuh Bakdi.

Menariknya, semenjak Sapardi Mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Bahasa Inggris, naluri kreatifnya semakin terasah. Tampak Sapardii kerap kali mengisi acara semacam puisi dan pembahasannya. Kendati demikian, Sapardi sempat dikenal sebagai gitaris yang handal.

Kemampuannya bermain gitar cukup baik. Bersamaan dengan itu, Sapardi sering bermain dengan band-nya di acara kampus. Karena hobinya itu, Sapardi nampak tak dapat lepas dengan gitar kesayangannya. Saking hobinya bermain gitar, salah seorang temannya yang juga sastrawan, Umar Kayam menuturkan bahwa Sapardi kerap membawa gitar ke kantor saat masih menjadi Dekan Fakultan Sastra, Universitas Indonesia.

“Dari berbagai kemampuan berkesenian yang dimiliki oleh Sapardi (menari, menabuh gamelan, main gitar, memimpin band, menggambar, main drama, dan menjadi sastrawan), tampaknya hanya bidang sastra yang menonjol. la bukan hanya dikenal sebagai penyair papan atas di wilayah Indonesia, bahkan hingga di luar negeri,” tambah Bakdi.

Maka dari itu, Sapardi merupakan sepaket komplit akan wujud dari sastrawan yang sejatinya tercatat dalam kamus besar sejarah penyair kenamaan Nusantara. Pada akhirnya, meninggalnya Sapardi menunjuk bahwa karyanya masih tetap abadi dan menggaung hingga hari ini.

*Baca Informasi lain soal SASTRA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

SEJARAH HARI INI Lainnya