JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 12 Juni 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy resmi menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Kebijakan lima hari sekolah ada di dalamnya.
Sebelumnya, rencana pemerintah menerapkan kebijakan lima hari sekolah menuai kritik. Kebijakan itu membuat hari anak-anak bersekolah lebih lama, delapan jam. Imbasnya anak-anak tak dapat membantu orang tua dan belajar agama.
Kebijakan enam hari sekolah kerap digunakan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Kondisi itu membuat murid dan guru mendapatkan satu hari libur saja. Namun, waktu yang digunakan tak sampai delapan jam. Pengajaran itu dianggap efektif.
Kondisi berbeda kemudian ditawarkan oleh Mendikbud Muhadjir. Ia berencana untuk membuat produk hukum supaya hari sekolah hanya berlangsung lima hari saja. Kebijakan lima hari sekolah itu akan memakan waktu delapan jam sehari. Kondisi itu dianggap sebagai bentuk efektivitas belajar.
Alih-alih mendapatkan banyak dukungan, rencana Mendikbud Muhadjir justru banjir kritik. Suara kritik muncul dari Nahdlatul Ulama (NU) hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menganggap waktu sekolah delapan jam sehari bawa banyak mudarat, ketimbang manfaat.
Anak-anak dianggap tak memiliki waktu untuk belajar agama. Narasi itu didengungkan karena rata-rata orang Indonesia belajar agama di sore hari. Kebijakan lima sekolah takkan mampu mengakomodasikan hal itu.
Masalah lainnya dari kebijakan sekolah lima hari dianggap membuat anak-anak jadi tak memiliki banyak waktu untuk dapat bertemu dan membantu orang tua. Belum lagi masalah anak-anak rentan stres. Sederet masalah itu membuat banyak orang meminta Kemendikbud untuk mengkaji ulang rencananya.
Pemerintah diharapkan dapat memperhatikan urusan waktu sehat untuk mencari ilmu. Kemendikbud sepertinya hanya mempertimbangkan anak-anak perkotaan dalam membuat aturan, bukan siswa yang berada di pelosok desa dengan sarana belajar yang tak memadai.
BACA JUGA:
"Praktik pendidikan tersebut semisal madrasah diniyah dan pesantren yang biasanya kegiatan belajarnya dimulai dari pelajar sepulang dari sekolah umum (SD, SMP, SMU). Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlah madrasah diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat akan tutup.”
“Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ihlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," kata Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi sebagaimana dikutip laman Kumparan, 11 Juni 2017.
Mendikbud Muhadjir tak terlalu memusingkan mereka yang kontra dengan kebijakan lima hari sekolah. Muhadjir berpandangan sekolah selama delapan jam sehari sebagai pembentukan karakter peserta didik.
Alhasil, Muhadjir pun menandatangi Permen Kemendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah pada 12 Juni 2017. Artinya, kebijakan lima hari sekolah dengan delapan jam sehari resmi hadir. Peraturan itu akan dilaksanakan mulai awal Juli.
"Jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari. Nantinya guru akan mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode seperti role playing, proyek, dan dari bermacam-macam sumber belajar, bisa dari seniman, petani, ustaz, pendeta. Banyak sumber yang bisa terlibat, tetapi guru harus tetap bertanggung jawab pada aktivitas siswanya.”
"Misalnya bila di sebuah daerah ada tradisi anak mengaji di madrasah diniyah pada jam-jam sore, maka jam-jam tersebut harus dikonversi sebagai bagian dari delapan jam pelajaran itu. Di beberapa daerah sudah menerapkan seperti itu dan saya kira sangat baik," jelas Muhadjir sebagaimana dikutip laman Republika, 12 Juni 2017.