Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 14 tahun yang lalu, 9 Maret 2010, Menteri Kesehatan (Menkes), Endang Rahayu Sedyaningsih kembali mengingatkan rumah sakit (RS) swasta untuk tidak menolak pasien. Imbauan itu diumumkannya berdasarkan fakta bahwa banyak RS swasta menolak pasien kaum tak punya berobat.

Sebelumnya, urusan kesehatan Indonesia bak jalan di tempat. Mereka yang dapat mengakses pelayanan kesehatan maksimal hanya kalangan terbatas saja. Sekalinya kaum miskin mengakses pelayanannya, layanan kesehatan itu jauh dari kata maksimal.

Kondisi pelayanan kesehatan Indonesia kerap digambarkan bak jalan di tempat. Kondisi itu karena munculnya narasi orang miskin dilarang sakit. Sindiran itu muncul bukan tanpa alasan. Semuanya bermuara pada sistem kesehatan di Indonesia yang tak memberi ruang kaum miskin mengakses pengobatan di rumah sakit.

Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih (kiri) bersama Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy saat berkunjung ke Pontianak. (Antara/Jessica Helena Wuysang)

Rumah sakit, utamanya swasta belum cukup ramah terhadap pasien miskin. Ambil contoh dalam jejak pendapat yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2009. Survei terkait kualitas layanan kesehatan itu mengambil sampel dari 738 pasien miskin di lima daerah (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi).

Hasilnya seperti yang sudah ditebak. Kaum miskin justru merasa kalau mereka dapat mengakses rumah sakit maka pelayanan tak pernah maksimal. Semuanya terlihat dari administrasi rumit, antrian panjang, kunjungan dokter yang jarang, serta sikap perawat yang tak ramah.

Kondisi itu sungguh menampar wajah kaum miskin. Bak mereka tak boleh sakit lagi. Kondisi itu diperparah dengan warga miskin yang kerap dibebani uang muka ketika berobat di rumah sakit. Syarat itu begitu memberatkan. Apalagi, kala kaum miskin ke RS swasta.

Endang Rahayu Sedyaningsih meninggal dunia di Jakarta pada 2 Mei 2012 akibat kanker paru-paru saat masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI. Jenazahnya dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. (Antara/Andika Wahyu)

Kondisi yang membutuhkan perawatan instensif pun dapat ditolak mentah-mentah oleh rumah sakit. Fakta itu hadir dalam rentetan kejadian pasien miskin meninggal dunia karena ditolak RS swasta.

“Pasien miskin juga menyatakan bahwa dalam setahun terakhir mereka pernah diminta uang muka oleh pihak rumah sakit sebagai syarat dalam mendapatkan pelayanan rumah sakit (10,2 persen). Besarnya uang muka tersebut rata-rata sebesar Rp794 ribu.”

“Penetapan uang muka merupakan salah satu faktor penghambat warga miskin mendapatkan pelayanan rumah sakit. Hal ini juga dibuktikan oleh pengakuan oleh 12,8 persen pasien miskin yang menyatakan bahwa mereka pernah ditolak oleh rumah sakit. Salah satu alasannya karena pihak rumah sakit menetapkan uang muka sebagai syarat kelengkapan administrasi,” terang Survei tersebut sebagaimana ditulis di laman ICW, 21 Desember 2009.

Kondisi itu jadi perhatian Menkes Endang Rahayu. Ia melihat maraknya penolakan pasien berobat oleh RS swasta sebagai masalah besar. Pun sebagai bukti bahwa pemerintah jarang hadir buat rakyat miskin. Kekesalan itu diungkap Endang dalam acara diskusi bersama Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia pada 9 Maret 2010.

Endang dengan tegas menyatakan bahwa RS swasta jangan tolak rakyat miskin yang berobat. Ia berharap RS swasta dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. segera beri pasien pelayanan maksimal. Urusan dana pemerintah akan membantu.

"Jangan tolak masyarakat yang datang berobat hanya karena tidak memiliki uang muka. Berikan dulu pelayanan terbaik. Untuk itu pemerintah akan membantu, apa yang bisa dibantu. Pemerintah juga berharap RS swasta terus mengembangkan berbagai program kesehatan bagi masyarakat miskin," katanya sebagaimana dikutip Kompas.com, 9 Maret 2010.