JAKARTA – Sejarah hari ini, 245 tahun yang lalu, 13 Maret 1778, Maskapai dagang Belanda, VOC melarang kereta kuda ngebut di jalanan Batavia (kini: Jakarta). Aturan itu dikeluarkan karena pemilik kereta kerap berlaku ugal-ugalan di malam hari.
Alih-alih hanya membahayakan nyawa, dampak ngebutnya kereta kuda membuat jalanan jadi rusak. Sebelumnya, kereta kuda –dari sado hingga delman—pernah dianggap sebagai lambang kekayaan di Batavia. Barang siapa yang memilikinya sudah pasti digolongkan orang kaya dan sangat kaya.
Kereta kuda sempat jadi primadona di era Kompeni. Di Batavia apalagi. Sado delman, ebro, hingga andong terlihat di mana-mana. Semua itu karena transportasi massal seperti kereta api belum ada. Pun kereta kuda kepemilikannya sangat terbatas.
Barang siapa yang memilikinya hanya orang kaya dan sangat kaya. Fakta itu membuat kehadiran kereta kuda bak simbol kekayaan era VOC. Mereka yang ingin dikenal kaya raya atau ingin pamer cukup menggunakan kereta di jalanan Batavia. Ajian itu mampu membuat seisi Batavia membicarakan empunya kereta.
Potensi kereta kuda sebagai simbol kekayaan pun dilirik banyak pihak. Mereka menganggap kereta kuda dapat menjelma sebagai bisnis yang menguntungkan. Usaha itu laris manis. Apalagi kala memasuki waktu ibadah ke gereja. Penyewaan kereta laku bak kacang goreng.
Semuanya karena opsi menyewa kereta kuda dianggap lebih menguntungkan ketimbang punya sendiri. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk kereta kuda terhitung besar. Empunya kereta kuda harus membayar pajak yang mahal harganya. Apalagi bagi mereka yang memiliki kereta kuda lebih dari satu.
“Karena pada awal abad ke-18 sudah ada lebih dari 140 kereta kuda Eropa partikelir berseliweran di Batavia. Maka tidak terlampau mencolok apakah kereta milik Kapiten Wan Abdul dihela satu atau dua ekor kuda.”
“Yang jelas ketika itu, hampir separuh dari jumlah kereta kuda Eropa dan kereta jenis berlijns di Batavia ditarik dua ekor kuda; sementara jenis kereta roda empat belum banyak, hanya delapan buah. Pajak kereta menyumbang sekitar 9 ribu ringgit setiap tahun ke dalam pundi-pundi pemerintah,” Sejarawan, Hendrik E. Neimeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Kehadiran banyak kereta kuda --apalagi diagungkan sebagai simbol kekayaan-- belakangan membawa masalah. Orang Belanda banyak yang membawa kereta kudanya dengan ugal-ugalan. Utamanya di malam hari.
Kondisi ngebut di jalanan itu tak hanya membahayakan nyawa manusia, tapi juga membuat jalanan dan jembatan menjadi rusak. Konon, orang Belanda yang kerap ngebut itu karena di bawah pengaruh minuman keras. Narasi itu karena penjualan minum keras di Batavia cukup tinggi dan kebiasaan orang Belanda yang suka mabuk-mabukan.
Kompeni pun ambil tindakan. Mereka kemudian melanggengkan aturan yang melarang kereta kuda melaju dengan ngebut di jalanan Batavia. Aturan itu dilanggengkan sejak 13 Maret 1778. Barang siapa yang melanggar VOC akan memberikan denda yang besar.
“Sementara itu kerusakan jembatan dan jalan akibat ugal-ugalan dalam mengendarai kereta, menyebabkan biaya perawatan jalan meningkat. Oleh sebab itu denda bagi yang melanggar cukup besar, yaitu 25 riksdalders. Sudah barang tentu ngebut di jalan antara sesama kereta dilarang pada 13 Maret 1778,” terang Sejarawan, Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).