JAKARTA - Hari ini, 13 tahun yang lalu, 30 Januari 2010, Mantan Presiden Indonesia, Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie mendapatkan gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) bidang filsafat dan teknologi dari Universitas Indonesia (UI).
Gelar itu didapat Habibie atas dedikasinya membangun bangsa dan negara. Sebelumnya, Habibie membawa nama Indonesia mentereng di mata dunia. Sumbangsihnya besar bagi industri kedirgantaraan dan teknologi. Ia bahkan pernah mengisi jabatan mentereng. Dari menteri hingga Presiden Indonesia.
Tiada yang meragukan eksistensi Habibie membangun negeri. Inisiasi itu telah disuarakannya kala menjadi mahasiswa di Jerman. Ia tak saja memfokuskan diri dalam dunia belajar di kampus, tapi ia juga aktif dalam kegiatan di luar kampus. Seminar, misalnya.
Kegiatan itu digelar Habibie untuk mengajak segenap mahasiswa Indonesia di Jerman untuk pulang dan membangun Indonesia. Ajian itu membuat nama Habibie populer di antara kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman. Kepopuleran itu terus berlanjut ketika ia jadi ahli kedirgantaraan di perusahaan kedirgantaraan Jerman, Messerchmidt-Bolkow-Blohm (MBB).
Kabar itu membuatnya kesohor di seantero negeri. Presiden Soeharto bahkan kepincut untuk membawa Habibie pulang ke tanah air. Apalagi Habibie memang memiliki mimpi untuk berkontribusi bagi bangsa dan tanah air, khususnya di bidang ke dirgantaraan dan teknologi.
Habibie menerima tantangan itu. Upaya Habibie berhasil. Habibie membuktikan bahwa Indonesia mampu merintis industri penting Indonesia. Karenanya, jalan habibie sebagai pejabat mulus-mulus saja. Ia pernah menempati jabatan mentereng dari Menteri Riset dan Teknologi hingga Presiden Indonesia menggantikan Soeharto.
“Dalam usia 39 tahun, Habibie telah kembali ke Indonesia, menjadi penasihat Presiden Indonesia dalam bidang teknologi canggih. Tak lama kemudian ia menjadi menteri dan ketua lembaga dalam bidang teknologi juga perusahaan negara untuk industri strategis.”
“Sebagaimana diketahui, puncak kariernya dalam pemerintahan bermuara dalam jabatan Wakil Presiden dan Presiden Republik Indonesia. Seperti suratan yang sudah tersirat, kami bertemu lagi dan meneruskan cita-cita kami di masa lalu,” ungkap teman semasa kuliah Habibie di Jerman, Wardiman Djojonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa (2016).
Nyala semangat Habibie tak lantas berakhir kala ia tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia. Ia tetap terhubung dengan perkembangan dunia teknologi tanah air sebagai mentor presiden-presiden setelahnya.
Tindak-tanduk Habibie itulah yang membuat UI kepincut. UI pun menganugerahkan gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) bidang filsafat dan teknologi kepada Habibie pada 30 Januari 2010. Gelar tersebut secara seremonial diserahkan oleh Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri di Kampus UI Depok.
“Membaca gerak langkah perkembangan kiprah Habibie dalam kacamata Habermas (filsuf) sangat tepat untuk coba menempatkan refleksi Habibie dalam kontroversi jika dikaitkan dengan kiprahnya sebagai ilmuwan, birokrat, dan politisi. Habibie tidak hanya sebagai ‘teknolog ulung’ tetapi ‘flsuf’ sosial yang secara khusus merefleksi secara saksama pengalaman teknologi di Jerman diterapkan dalam konteks keindonesiaan.”
“Untuk itu Habbie mulai menghidupkan kembali ‘idealisme nasionalisme’ yang tidak melupakan falsafah bangsa dan etika yang mengambil inspirasi dari agama yang sungguh penting dalam pola pengembangan negara dan bangsa Indonesia,” tulis UI dalam pertimbangannya sebagaimana dikutip A. Makmur Makka dalam buku B.J. Habibie: The Power of Ideas (2018).