16 Maret 1927: Tanggal Kelahiran Sastrawan Hebat Indonesia, Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H., salah satu sastrawan hebat yang dimiliki Indonesia. Lahir di Bandung pada 16 Maret 1927, Ramadhan meninggal pada 16 Maret 2006 di Cape Town, Afsel. (Foto: kultural.id)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 95 tahun yang lalu, 16 Maret 1927, adalah hari besar dalam ritus hidup sastrawan Ramadhan Karta Hadimadja (Ramadhan K.H). Ia lahir dan meninggal dunia dalam tanggal tersebut. Semasa hidupnya, ia menjelma sebagai sastrawan besar. Pun juga penulis biografi hebat. Sederet tokoh besar pernah menggunakan jasanya. Dari istri kedua Bung Karno, Inggit Garnasih hingga Soeharto. Karenanya, ia jadi tokoh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.

Boleh jadi tidak cukup satu kata ketika menggambarkan sosok Ramadhan K.H. yang lahir pada 16 Maret 1927 di Bandung. Ia dapat merangkap segalanya. Ia dapat berperan sebagai penyair, novelis, sejarawan, hingga budayawan. Semua peran itu dilakukan sama baiknya. Satu sisi, ia dapat menarasikan sejarah dengan baik. Sisi lain ia mampu memberi nyawa kepada sebuah tulisan fiksi.

Keterampilan itu didapatnya karena Ramadhan tergolong haus ilmu. Ia tak pernah menyia-nyiakan tiap ada kesempatan untuk belajar. Di manapun itu dan tak peduli bersama siapa. Ramadhan tak pernah absen. Misalnya, ia ikut berangkat ke negeri Belanda untuk mempelajari kebudayaan setempat pada 1951.

Salah satu buku karya Ramadhan K.H., Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Soekarno. (Foto: dok. Perpustakaan Provinsi Bali)

Ia ikut dengan rombongan penyair, pengarang, dan pelukis Indonesia kesohor. Antara lain Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, hingga Mochtar Apin. Keterlibatannya di antara tokoh besar itu buat Ramadhan balajar banyak hal.

“Tahun 1951 atas bantuan Sticusa, yayasan kerja sama kebudayaan Belanda-Indonesia, sejumlah penyair, pengarang, dan pelukis diberi kesempatan meninjau Negeri Belanda. Mereka adalah Asrul Sani dan istrinya Nuraini, Pramoedya dan istri pertamanya, Sitor Situmorang, Gayus Siagian, Ach Kartahadimadja, M. Balfas, Barus Siregar, Mochtar Apin, Roesli, dan Ramadhan K.H. Atun (sapaan akrabnya) kembali ke Indonesia tahun 1955. Ia menjadi redaktur Majalah Kisah, pindah ke Majalah Siasat. Di Siasat dia mengasuh rubrik kebudayaan: Gelanggang.”

“Atun bersama Ajib Rosidi termasuk orang-orang yang meyakinkan Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin untuk membentuk Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM). Di TIM Atun mengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di belakang Asrul Sani, Ajib Rosidi, dan Iravati Sudiarso. Sifatnya sebagai the gentle lieutenant kentara. Dia pendamping lembut kedua istrinya yang diplomat, yakni Pruistin atau Tines dan Salfrida Nasution atau Ida,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).

Setelahnya, karyanya bejibun. Karya dalam bentuk novel saja lebih dari satu. Beberapa di antaranya Royan Revolusi (1968), Kemelut Hidup (1977), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1987). Tak jarang pula karyanya dijadikan film. Kemelut Cinta, misalnya.

Pengembaraannya dalam berkarya pun tak lantas usai. Ia selalu mencoba hal baru. Buahnya, namanya kembali kesohor sebagai penulis biografi handal. Banyak yang menanti jasanya menulis biografi. Sebab, pembaca seakaan memiliki hubungan emosional dengan tokoh yang diceritakannya.

Ramadhan K.H. semasa muda. (Foto: Wikimedia Commons)

Dengan kata lain, tulisannya begitu hidup. Lagi pula, tak jarnag label “buku terlaris” sering kali terpatri bersama karya-karya biografinya. Termasuk biografi daripada Inggrit Garnasih. Perjuangan Inggit mendampingi Bung Karno tergambarkan dengan baik. Ia pun setia menulis hingga ajal menjemputnya sama seperti tanggal kelahirannya: 16 Maret 2006 di Cape Town, Afrika Selatan.

“Di luar karya fiksi, namanya diingat juga sebagai penulis ‘pesanan’ khusus biografi. Biografi tentang istri Bung Karno semasa menjadi mahasiswa Bandung: Technische Hoogeschool (kini: ITB),  disajikannya dalam Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta lbu Inggit dengan Bung Karno (1981). Tentang Presiden RI kedua yang paling awet berkuasa, dia menulis Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1991).”

“Lalu, tentang primadona opera bangsawan yang model teater terpadu Indonesia baheula, dia menulis Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982). Tentang pendiri korps baret merah dia menulis A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah-Putih (1988),” tutup Remy Sylado dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ramadhan, Kembali Ke Pangkuan Asal (2006).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.