Bagikan:

JAKARTA - Romantika mengenang para pejuang di dunia penerbangan. Hal itu yang ingin ditunjukkan Soekarno lewat pembangunan Patung Dirgantara. Lewat monumen yang berdiri di wilayah Pancoran itu Soekarno mengenang romantika revolusi.

Tulisan Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011) menjelaskan ide pembuatan Patung Dirgantara adalah untuk mengenang para pejuang kedirgantaraan Indonesia pada 1964. Kawasan Pancoran di Jakarta Selatan dipilih karena berdekatan dengan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia.

Bung Karno mempercayakan pembangunan Patung Dirgantara kepada seniman kenamaan Yogyakarta, Edhi Sunarso. Soekarno kepincut dengan sentuhan tangan Edhi kala membangun Patung Selamat Datang, sebagaimana telah kami bahas dalam artikel Selamat Datang, Patung Selamat Datang: Kala Ibu Kota Memamerkan Keramahannya. Di tangan Edhi, Soekarno yakin Patung Dirgantara akan jadi ikon dunia penerbangan Indonesia.

Semula Edhi merasa kebingungan dengan ide Soekarno. Soekarno kini lebih idealis. Edhi bahkan mengaku sempat kewalahan untuk menemukan bentuk patung yang tepat.

“Waktu itu saya sedang mengerjakan Monumen Dirgantara. Saya sudah mengumpulkan banyak desain. Tetapi tak ada satu pun yang memuaskan Bung Karno,” ungkap Edhi, tertuang dalam buku Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra 1950-1965 (2005).

Dalam kebimbangan itu Soekarno mengingatkan Edhi akan sosok tokoh pewayangan yang dapat terbang dan kuat, Gatot Kaca. Edhi pun diberikan perspektif oleh Soekarno akan kondisi Indonesia kala itu. Menurut Soekarno, meski Indonesia belum dapat membuat pesawat terbang dan pesawat tempur, namun kaum bumiputra tetap berani menerbangkannya.

Modal keberanian itu yang ingin ditonjolkan oleh Soekarno. Sembari memberi Edhi gambaran, Soekarno turut berpose untuk memberikan ilham kepada sang pematung. Tak lama kemudian, Edhi pun menerjemahkannya menjadi mahakarya Patung Dirgantara.

Akan tetapi, sudah bukan pesawat yang akan menjadi simbol penerbangan dalam pikiran Edhi. Ia bersiap membuat sesosok manusia yang hendak terbang. Niscaya orang-orang yang melihatnya akan mendapatkan kesan seperti melihat sang Gatot Kaca yang gagah berani bersiap terbang.

Jalan berliku

Pembangunan Patung Dirgantara tak berjalan mulus. Dijelaskan Asikin Hasan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pematung Selamat Datang Telah Pergi (2016), Edhi mengungkap sumbangsihnya kepada negara sebagai pengabdian. Oleh karenanya, dirinya seringkali tak mendapat bayaran yang cukup.

“Dalam kaitan dengan pembangunan Patung Dirgantara, misalnya, ia terlibat banyak utang karena kebutuhan bahan pembuatan model patung cukup tinggi dan rumahnya disegel. Mengetahui hal itu, Bung Karno menjual mobil pribadi untuk untuk menutupinya agar proses pengerjaan patung tetap jalan,” tulis Asikin Hasan.

Masalah baru pun muncul. Kekuasaan Soekarno berhasil dilumpuhkan oleh Mayor Jenderal Soeharto. Akibatnya, Orde Lama pun kemudian berganti dengan Orde Baru pada 1965. Hal itu sempat membuat proyek pembangunan Patung Dirgantara sempat tak jelas arahnya.

Lagi-lagi, Soekarno menunjukkan jiwa pantang menyerahnya. Walau dirinya tak berada di pucuk pemerintahan, Soekarno berani bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menuntaskan pembangunan Patung Dirgantara. Karena itu, Edhi ikutan bersemangat.

Dikutip dari Agus Dermawan T. dalam buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden (2019), pembangunan patung terus dilanjutkan. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya merenggut biaya Rp12 juta. Edhi pun ambil bagian dengan menyumbang Rp6 juta dari studionya sendiri. Soekarno pun akan membayar sisanya.

Soekarno bahkan berjanji akan melunasi biaya tersebut sekeluarnya dari Wisma Yaso, tempatnya ditahan sebagai tahanan rumah. "Dengan uangku sendiri, nanti. Negara tidak punya uang. Istana Presiden tidak pernah punya duit!" kata Presiden Pertama Indonesia tersebut.

Sayangnya, jangankan melunasi utang kepada Edhi, Soekarno justru tak sempat meresmikan Patung Dirgantara yang telah digagasnya sendiri di Pancoran. Sebab, Bung Karno telah mengembuskan napas terakhir lebih dulu.

"Akhirul kisah, jangankan melunasi utang itu kepada saya. Untuk melihat patung yang digagasnya sendiri saja Bung Karno tidak diperbolehkan oleh aparat Orde Baru, sampai kemudian Bung Karno meninggal tahun 1970. Yang paling menyedihkan, jenazah Bung Karno melintas di bawah patung Monumen Dirgantara yang sedang saya selesaikan. Dan kebetulan saya sedang bekerja di sana," tutur Edhi.

Kepergian sang proklamator kemerdekaan pada 1970 sempat membuat Edhi bersedih. Lantaran sudah janji dengan Bung Karno, Edhi kemudian tetap bersemangat menuntaskan amanat terakhir bung Karno, dan Edhi berhasil.

“Sekalipun tidak pernah diresmikan oleh pemerintahan pengganti Soekarno, yaitu Presiden Soeharto, Patung Dirgantara tegar berdiri menggelorakan semangat, mengekspresikan wajah Gatotkaca,” tulis buku Soekarno Poenja Tjerita (2016).