Bagikan:

JAKARTA - Politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno, merespon mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang mempertanyakan banyaknya patung Proklamator RI, Soekarno, sementara patung Presiden RI ke-2 Soeharto dkk hilang dari Markas Kostrad.

 

Menurut Hendrawan, keberadaan patung tidak boleh dipahami seperti tren atau fesyen. Namun, makna simbolik yang dipancarkan sebagai literasi sejarah.

"Dalam alam demokrasi, ketika akses terhadap informasi tidak terdistorsi, ketika memori kolektif masyarakat mengalami proses penjernihan, patung mengekspresikan literasi historis masyarakat," ujar Hendrawan, Jumat, 1 Oktober. 

Lebih lanjut, anggota DPR ini menjelaskan, di masa lalu ada upaya mendegradasi peran Soekarno dalam sejarah bangsa Indonesia demi melanggengkan kekuasaan.

"Kita pernah mengalami era di mana peran dan jasa Bung Karno berusaha didegradasi. Politik sejarah diintervensi kepentingan melanggengkan kekuasaan. Di era terbuka seperti sekarang, masyarakat rindu orientasi kebangsaan yang otentik, kepada narasi negara bangsa yang orisinal," jelas Hendrawan.

Oleh karena itu, dia menekankan, bahwa jumlah patung tak bisa dijadikan parameter apapun. "Jadi bukan parameter jumlah, tapi parameter psikososial dan historiografi negara bangsa," tegas Hendrawan.

Hendrawan pun menilai, pernyataan Gatot membuat seolah-olah kondisi saat ini sama seperti era di mana peran Sukarno didegradasi dalam sejarah bangsa.

"Jadi jangan disimpulkan bahwa sekarang terjadi de-Soehartoisasi seperti yang disiratkan dari pernyataan GN (Gatot Nurmantyo). Seolah-olah ini sama dengan de-Sukarnoisasi yang nyata terjadi di masa lalu," ujar Hendrawan.

 

 

Sebelumnya, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo membandingkan hilangnya patung Soeharto di Markas Kostrad, dengan patung Proklamator Sukarno.

"Ya saya tetap berpikir positif bahwa karena Kostrad itu adalah tulang punggung, pada saat '65 (1965) dan seterusnya, untuk menjaga. Karena justru museum itu ada di Kostrad itu adalah bentuk pewarisan sejarah, agar semua prajurit Kostrad itu tahu dan sadar, bahwa panglimanya seperti itu, kemudian Kostrad seperti itu, sehingga suatu saat operasi pasti dia paling depan Kostrad," kata Gatot dalam YouTube Karni Ilyas seperti dilihat, Kamis, 30 September. 

Gatot kemudian bicara mengenai keberadaan patung Soeharto. Gatot merasa ironis karena patung Soeharto hilang bahkan tidak ada, sementara patung Sukarno ada di mana-mana.

"Nah ini, tiga-tiganya mengusik kebangsaan saya, sosok Sarwo Edhie, saya juga prajurit komando, Pak Harto (Soeharto), saya juga mantan Pangkostrad, Pak AY (Azmyn Yusri) Nasution juga mantan KSAD, beliau-beliau inilah contoh, panutan, tentang bagaimana perjuangan, bagaimana cara berpikir, bagaimana cara merencanakan mengambil keputusan yang efisien. Sehingga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya bisa memutarbalikkan. Ini kan suatu hal sangat strategis bagi bukan hanya TNI, keluarganya, maupun masyarakat," tutur Gatot.

"Bung Karni, di mana-mana patung Bung Karno ada, bahkan nama Soekarno-Hatta jalan ada, Pak Harto mantan presiden ada jasanya juga, mana sih ada patung? Hanya patung kecil seperti itu pun musnah. Ini kan suatu hal yang sangat ironis," lanjutnya.

Dia meminta siapa pun menghormati Presiden Indonesia. Dia berharap ada patung-patung presiden RI di Markas Kostrad.

Gatot berharap setiap Presiden RI dapat dihargai seluruh pihak. Gatot mengatakan seluruh Presiden RI dapat punya jasa kepada Indonesia.

"Nah harapan saya, marilah sama-sama kita hormati siapapun mantan presiden kita semuanya. Sehingga dunia melihat bahwa kita bangsa yang besar menghargai apapun kesalahannya, ini hanya sebagai pelajarannya jangan sampai terulang, tetapi kita angkat sama-sama. Bung Karno contohnya bawa proklamasi, kemudian Pak Harto Bapak Pembangunan, Bu Mega presiden wanita pertama, dan seterusnya, Jokowi mungkin Presiden infrastruktur, kan gitu, jadi ditokohkan semuanya pada posisi yang sama. Sehingga dunia melihat wah itu Indonesia," pungkasnya