Bagikan:

JAKARTA – Menurut ahli, pola asuh merupakan kontrol dari orang tua kepada anak-anaknya untuk membimbing, melindungi, dan mendampingi melaksanakan tugas pada proses perkembangannya. Diana Baumrind, menuliskan bahwa ada 3 bentuk pola asuh yang paling mendasar.

Pertama pola asuh otoriter yang cenderung membatasi dengan memberi hukuman. Kedua, pola asuh demokratis atau otoritatif yang bersifat positif dan mendukung anak-anak untuk mandiri. Pola asuh yang ketiga, permisif, memberikan kebebasan pilihan pada anak-anak meskipun tanpa pengawasan.

Pola asuh permisif kurang memperhatikan fase perkembangan anak sekaligus menimbang modal pengetahuannya ketika menjatuhkan pada satu pilihan. Meski pada satu sisi pola asuh ini bersifat positif, tetapi ada dampak negatif apabila dipraktikkan tanpa batasan yang mumpuni.

Dilansir Talk Parenting, Sabtu, 4 September, pola asuh permisif ditandai dengan tuntutan yang rendah dengan respons tinggi. Misalnya, sedikit aturan untuk mengarahkan dan sangat mencintai anak-anaknya sehingga tidak memberikan aturan yang mendisiplinkan.

Dampak negatif dari pola asuh permisif antara lain sebagai berikut.

1. Mendidik anak jadi kurang disiplin

Meskipun pola asuh permisif berlandaskan rasa cinta pada buah hati, tetapi karena memberikan aturan yang tidak konsisten dan standar perilaku yang tidak ajek, kesadaran untuk disiplin jadi tidak terbentuk lewat kebiasaan yang diberlakukan sehari-hari.

Contohnya, anak dibiarkan ketika bermain seharian tanpa mengingatkan waktunya makan siang, tidur siang, atau membantu orang tua, hingga mengerjakan tugas sekolah.

2. Anak kurang mengerti bagaimana cara berjuang mendapatkan prestasi

Pola permisif kerap membebaskan anak, tidak memberikan wacana dan ekspektasi. Apalagi memberikan target-target kecil dalam hidupnya, misalnya mendapatkan nilai yang baik pada mata pelajaran yang ia sukai.

Oleh sebab itu, anak jadi kurang mengerti bagaimana cara berjuang untuk mendapatkan prestasi. Lebih jauh lagi bisa berefek sulitnya mengambil keputusan ketika ia menyelesaikan suatu masalah.

3. Kecerdasan emosional rendah

Kecerdasan emosional berkaitan dengan bagaimana cara mengontrol emosi dan merilis emosi dengan cara yang tepat. Jika kecerdasan emosional rendah, anak bisa marah dengan sikap yang destruktif, misalnya membanting, berlaku kasar, maupun merusak barang di rumah.

Ketika seorang anak dibebaskan tanpa ada bekal bagaimana cara mengontrol dan merilis emosi secara tepat, maka efeknya buruk pada keseimbangan emosinya.

4. Kurang mengenal rasa tanggung jawab

Memberi kebebasan anak memang baik, tetapi mereka perlu dibekali aturan serta pengetahuan yang cukup. Untuk melunaskan tanggung jawab, seseorang juga perlu tahu batasannya apa dan tujuan yang akan dicapai itu apa saja.

Nah, mengingat efeknya terlalu ‘lunak’ memberikan aturan juga akan buruk, maka diperlukan membuat kesepakatan dengan anak. Apabila anak sudah mulai mandiri dan cukup bisa untuk diajak diskusi, cobalah untuk membuat aturan bersama serta ditaati bersama pula.

Jelaskan juga konsekuensi apa saja jika melanggar aturan. Yang pasti dibutuhkan konsistensi, keseimbangan aturan serta dukungan, tambahan keterampilan, dan memahami perasaan anak.