JAKARTA - Setiap keluarga pasti memiliki pola asuh berbeda untuk diterapkan pada anak-anak. Ada orangtua yang nyaman menerapkan pola asuh permisif, tapi tidak sedikit juga yang lebih memilih gaya pengasuhan otoriter. Meski dianggap terlalu keras, banyak orangtua menilai bahwa pola asuh otoriter merupakan cara terbaik agar anak belajar menaati aturan.
Dikutip dari laman Parenting Science, Selasa, 16 Februari, Gwen Dewar, Ph.D, seorang Antropologis menjelaskan bahwa pola asuh otoriter itu tidak selamanya baik sebab dapat menghilangkan kedekatan antara anak dan orangtua.
“Pola asuh otoriter adalah yang paling ketat dan keras. Ini memaksa anak patuh dan bersikap baik setiap saat dengan memberikan ancaman, dipermalukan, dan hukuman lainnya. Pola asuh ini juga dihubungkan dengan pendekatan orangtua yang tidak hangat dan responsif,” tulis Dewar.
Selain itu pola asuh otoriter juga membawa dampak negatif lain bagi kehidupan anak, seperti;
Membangkang pada aturan
Memang benar menjadi otoriter bisa membuat anak taat pada aturan. Namun, seiring anak berkembang, ia akan tumbuh lelah dan muak dengan aturan ketat tanpa henti dalam hidupnya. Akhirnya, ia akan mencoba cari tahu batasan orangtua dengan melakukan aksi yang mungkin saja membahayakan dirinya sendiri.
BACA JUGA:
Ketergantungan aturan
Ada dua kemungkinan sikap yang timbul dari anak hasil pola asuh orangtua otoriter, yaitu membangkang pada aturan atau ketergantungan aturan. Kebiasaannya dalam menjalankan aturan membuat anak jadi sulit menentukan tujuan hidup. Ketika ia dihadapkan dengan situasi lingkungan tanpa aturan, anak akan merasa tidak aman dan bingung harus berbuat apa. Sebab, hidupnya sudah terbiasa dikendalikan oleh orangtua.
Kurang percaya diri
Dampak berkelanjutan dari ketergantungan aturan adalah timbulnya rasa kurang percaya diri pada anak. Ia akan merasa sulit membawa diri di lingkungan baru atau kurang pandai dalam menghadapi kondisi sosial lain, selain dari yang ia jalani.
Pelaku kekerasan
Anak-anak rentan sekali meniru perilaku orangtuanya. Sikap orangtua merupakan contoh bagi anak. Maka, jika anak sering melihat hukuman adalah hal yang normal terjadi sebagai bagian dari pola asuh otoriter, bisa jadi ia akan menjadi pelaku bullying di sekolah. Apalagi jika orangtua sering menghukum anak sambil berkata “ini semua untuk kebaikan kamu”. Anak akan bertindak keras pada temannya karena ia pikir memberi hukuman adalah satu hal yang baik.
Sulit mengungkapkan ekspresi
Terbiasa tunduk pada peraturan, ancaman, dan hukuman menjadikan anak susah mengungkapkan ekspresi. Ia bahkan cenderung tumbuh menjadi anak pemalu dan tidak percaya diri untuk berteman.