Bagikan:

JAKARTA – Film Petualangan Sherina 2 berhasil menyedot perhatian masyarakat Indonesia, sejak penayangan perdananya pada 28 September 2023.

Petualangan Sherina 2 merupakan sequel film dengan judul yang sama, yang tayang pada 2000 atau 23 tahun yang lalu. Tak heran, jika mayoritas penonton dari generasi milenial yang bernostalgia dengan masa lalunya.

Film Petualangan Sherina disebut membawa inner child para penonton bergejolak. Apalagi, film ini masih diperankan oleh pemain yang sama, Derby Romero dan Sherina Munaf sehingga penonton merasa ikut bertumbuh bersama keduanya. 

Inner Child

Istilah inner child kemudian menjadi viral di media sosial TikTok. Bahkan banyak orang yang menggunakan lagu original soundtrack (OST) Petualangan Sherina sambil mengisahkan inner child mereka.

Lalu, apa artinya inner child?

Inner child sering digunakan untuk mendeskripsikan hubungan yang dimiliki seseorang dengan masa kecil dan kenangan masa kecil. Terkadang seseorang menemukan bahwa perilaku atau emosi tertentu mirip dengan yang dialami saat kecil, sehingga tidak jarang menyebabkan tertekan saat menavigasi dunia orang dewasa.

Konsep inner child sendiri sering menjadi pembahasan para psikolog maupun psikiater. Melansir Healthline, psikolog Carl Jung menghubungkan inner child dengan pengalaman masa lalu dan kenangan akan kepolosan, keceriaan, dan kreativitas, serta harapan untuk masa depan.

Sementara pakar lain mendeskripsikan inner child sebagai ekspresi bukan hanya diri sebagai anak, tapi juga pengalaman hidup di semua tahapan kehidupan. Inner child juga bisa dianggap sebagai sumber kekuatan, karena pengalaman dapat memainkan peran penting dalam perkembangan seseorang sebagai orang dewasa.

Inner child sering digunakan untuk mendeskripsikan hubungan yang dimiliki seseorang dengan masa kecil dan kenangan masa kecil. (Freepik)

Inner child mencerminkan diri seseorang sebagai anak kecil, baik dalam aspek ‘negatif’ maupun ‘positif’. Ketika pengalaman masa kanak-kanak berdampak negatif pada seseorang, inner child mungkin terus membawa luka sampai seseorang mengatasi sumbernya.

“Masing-masing dari kita memiliki inner child, atau cara bertahan hidup,” kata Dr. Diana Raab, psikolog penelitian dan penulis.

“Berhubungan dengan inner child Anda dapat membantu menumbuhkan kesejahteraan dan memberikan keringanan dalam hidup,” imbuh Dr. Diana.

Mengutip laman resmi Universitas Muhammadiyah Purwekerto Fakultas Psikologi, inner child secara umum dimaknai sebagai sisi anak kecil yang ada dalam diri orang dewasa. Inner child identik dengan trauma masa lalu yang sering dipahami sebagai sisi yang harus dibuang dan jadi alasan untuk menolak terhadap suatu hal.

Padahal, jika dikelola dengan baik inner child sebenarnya bisa menjadi booster sendiri untuk perkembangan.

Berkaitan dengan Pola Asuh

Dalam ranah psikologi istilah inner child dikenal dengan advisery childhood experiences, yang merupakan pengalaman masa kecil individu yang akan berpengaruh terhadap perkembangan.

Dzikria Afifah Primala Wiaya, S.Psi.,M.A, dosen psikologi UMP, ingin meluruskan stigma negatif mengenai inner child. Menurutnya, inner child bisa memiliki sifat positif jika dikelola dengan baik. Dzikria juga mengatakan, inner child bisa terkait dengan pola asuh di masa lalu.

Salah satu pola asuh yang dapat memberikan inner child negatif aadalah pola pengasuhan orang tua yang otoriter. Perasaan takut menyatakan pendapat pribadi karena merasa pendapat pribadinya tidak penting, taku dihakimi, dan tidak dihargai orang lain bisa terjadi karena pola asuh yang otoriter di masa lalu.

Sementara sisi positif inner child sangat mirip dengan jiwa manusia di usia anak-anak, seperti merasa bebas, antusias, kreatif, fokus, energik, dan memiliki keingintahuan yang besar.

Inner Child bisa terkait dengan pola asuh orang tua, namun inner child bukan penyebab gangguan mental. (Freepik)

“Iya bisa (inner child terkait dengan pola asuh). Mungkin ada yang belum selesai dan sebagainya. Saya ingin membenarkan terkait sifat dari inner child itu netral, karena selama ini di-frame negatif untuk dijadikan penolakan. Jadi sifatnya netral akan tetapi, bisa menjadi masalah ketika tidak dikelola sebagai bahan untuk pengembangan diri,” tutur Dzikria.

“Sebenarnya, kita semua punya sisi inner child, tergantung mau diarahkan sisi positif atau penghambat. Jika dikembangkan sebagai sebuah hambatan maka akan terjadi hambatan. Pertanyaannya adalah bisa dikembangkan, bisa dihilangkan tidak? Bisa, itu semua tergantung individu itu sendiri akan diarahkan ke positif atau hambatan,” Dzikria menambahkan.

Lebih lanjut, Dzikria mengatakan inner child bukanlah gangguan mental, melainkan hanya sebuah istilah seperti halnya quarter life crisis. Istilah ini digunakan dalam penyebutan untuk tahap individu ketika mengalami hal yang bermasalah, tahapan badai dan stres.

"Jika inner child tidak bisa menjadi tantangan dan pengembangan diri maka akan menjadi masalah yang tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan orang yang bersangkutan mengalami gangguan mental. Akan tetapi kurang tepat, jika penyebab gangguan mental langsung disebabkan karena inner child. Ada dinamika psikologis yang kompleks sehingga menyebabkan seseorang mengalami gangguan mental," pungkasnya.