Galakkan Budaya Sensor Mandiri demi Perlindungan Terhadap Anak-Anak
Budaya Sensor Mandiri terus disosialisasikan LSF agar anak-anak tidak menoton film yang bukan kategori usianya. (Unsplash/Krists Luhaers)

Bagikan:

JAKARTA - Menonton film di bioskop sering menjadi salah satu sarana rekreasi keluarga. Makanya kita sering melihat anak-anak menonton film di bioskop. Tapi ada satu hal yang menjadi perhatian adalah ketika orang tua membawa anak untuk menonton film yang tidak sesuai dengan usianya.

Padahal menonton film yang tidak sesuai dengan kategori usia dapat memberikan dampak psikologis pada anak. Salah satunya adalah film yang mengandung kekerasan.

Carloline Fitzpatrick, yang merupakan peneliti perkembangan anak dan remaja dari Corcordia University Montreal, Kanada, mengatakan film yang mengandung adegan kekerasan dapat memengaruhi bagaimana anak tumbuh dan berkembang.

Kategori Usia untuk Melindungi Penonton

Film karya Marvel, perusahaan asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang produksi komik dan media lainnya, termasuk yang paling sering ditonton oleh anak-anak. Padahal, hampir semua film Marvel memiliki label usia 13+ bahkan ada pula yang memiliki label 17+ seperti film Deadpool. Artinya, film-film tersebut tidak cocok ditonton untuk anak di bawah usia 13 tahun.

Di Indonesia sendiri, klasifikasi film berdasarkan usia wajib dicantumkan, dan ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Bunyi pasal tersebut Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film: (a) untuk penonton semua umur; (b) untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; (c) untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan (d) untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pengelompokan usia dalam film dilakukan Lembaga Sensor Film (LSF) semata-mata untuk melindungi penonton. Apalagi anak-anak memiliki perilaku yang cenderung imitative, sehingga dikhawatirkan meniru konten-konten yang tidak sesuai dengan usianya.

Hal ini disampaikan Naswardi, Ketua Komisi III LSF yang membidangi urusan sosialisasi, kemitraan, penelitian dan pengkajian.

“Klasifikasi usia penting karena kita ingin melindungi penonton, teutama kelompok usia rentan anak-anak,” kata Naswardi dalam sebuah acara konferensi pers laporan kinerja LSF 2021 di Jakarta, pada 22 Maret 2022.

“Kalau tidak ada penyensoran film, akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Contohnya konten pornografi yang bisa merusak. Karena sifat dasar mereka itu imitatif,” katanya.

Film karya Marvel termasuk salah satu yang banyak ditonton anak-anak, padahal memiliki kategori usia 13+. (Unsplash/Clement)

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan, anak-anak akan belajar dengan mengobservasi ‘role model’ dan menirukannya. Saat anak-anak melihat adegan kekerasan, perilaku menyimpang atau mendengar kata-kata kasar seperti yang terpampang dalam film-film dengan kategori usia lebih tua, mereka memiliki kemungkinan besar untuk meniru. Sebelum perkembangan otak mereka berkembang dengan baik, mereka belum bisa membedakan apa yang baik dan buruk, apa yang bisa ditiru dan tidak.

Studi dari National Institute of Alcohol Abuse and Alcoholism menemukan bahwa anak-anak yang terpapar film dewasa sejak usia dini cenderung lebih cepat untuk mencoba hal-hal seperti alkohol, merokok dan seks bebas.

“Penelitian membuktikan bahwa pilihan game kekerasan yang dimainkan anak dapat menggerus sikap empati dan hati nurani seseorang,” kata Kasandra saat dihubungi VOI

Gerakan Budaya Sensor Mandiri

Tapi kenyataan di lapangan tidak seindah teori. Melihat anak-anak menyaksikan film dengan kategori 13+ seolah menjadi hal biasa. Sejak Oktober tahun lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui LSF terus berkomitmen meningkatkan kesadaran masyarakat melakukan Budaya Sensor Mandiri.

LSF terus melakukan sosialisasi Budaya Sensor Mandiri dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pegawai bioskop.

Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto, pihaknya sudah mengimbau pengelola bioskop untuk melakukan penjagaan ketat agar tidak ada anak di bawah usia menyaksikan film yang bukan kategori usianya.

Imbauan terkait Budaya Sensor Mandiri juga dilakukan mulai dari pemasangan iklan di televisi, di layar bioskop sebelum film diputar, hingga diskusi di ruang publik. Meski kenyataannya imbauan ini masih sulit terealisasi.

“Kesalahan ini bukan pada bioskopnya, namun pengetahuan orang tua untuk melakukan sensor mandiri belum terimplementasi. Padahal pihak bioskop sudah mencantumkan klasifikasi usia dan melakukan screening usia kepada para penonton,” ujar Rommy dalam acara Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri bagi Pegawai Bioskop di Jakarta, dikutip dari Kemendikbud.

Anak-anak yang menonton film tidak sesuai kategori usianya dapat memengaruhi tumbuh kembangnya. (Unsplash/Aneta Pawlik)

Selain itu, Rommy mengatakan pembelian tiket secara daring juga menjadi salah satu kendala untuk menerapkan Budaya Sensor Mandiri.

“Yang perlu diantisipasi ini adalah kondisi saat pembelian tiket online maka bisa tidak bisa, mau tidak mau, budaya sensor mandiri ini harus dipahami oleh masyarakat," kata Rommy kepada VOI.

Sementara itu, Kasandra mengimbau para orang tua untuk memahami bahwa didikan dari orang tualah yang lebih berperan dalam membentuk proses tumbuh kembang anak. Orang tua berperan besar dalam mengajarkan konsep yang diyakini baik dan buruk kepada anak serta melindungi anak dari pengaruh lingkungan yang kurang baik. 

"Jika orang tua merasa bahwa kegiatan yang dilakukan oleh anak kurang sesuai dengan nilai yang berlaku di keluarga, maka orang tua harus lebih aktif membatasi hal-hal yang kemungkinan dapat mengganggu dalam proses tumbuh kembang anak,” pungkasnya. 

Sangat disayangkan memang ketika imbauan Budaya Sensor Mandiri seolah diabaikan oleh masyarakat. Padahal, bisa dikatakan budaya sensor mandiri merupakan filter terakhir agar tidak terjadi kesalahan saat penonton di bawah umur menyaksikan film yang bukan klasifikasi usianya.

Seperti diungkapkan sebelumnya, Budaya Sensor Mandiri juga dilakukan guna melindungi anak-anak, yang merupakan generasi penerus bangsa, dari perilaku tidak terpuji yang ditonton dari film-film yang tidak sesuai dengan kategori usianya.

Terkait