Bagikan:

JAKARTA - Kabar meninggalnya mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (2/10/2023) menggegerkan masyarakat. Pasalnya, mahasiswi berinisial SMQF itu bunuh diri dengan melompat dari lantai 4 Gedung Y asrama University Residence (Unires) UMY.

Mahasiswi berusia 18 tahun itu diduga mengalami depresi. Korban diketahui nekat melakukan aksinya saat teman sekamar asramanya masih tidur. Malam sebelumnya, korban sempat menenggak obat sakit kepala hingga 20 butir dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Ia berhasil diselamatkan, namun percobaan bunuh diri kedua tak terelakkan.

Tidak diketahui secara pasti motif yang mendorong korban melakukan bunuh diri. Namun kuat dugaannya ia mengalami depresi hingga nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 4 asrama tempatnya tinggal.

Peningkatan Kasus Bunuh Diri

Dikutip dari Ai Care, depresi merupakan gangguan mood yang didefinisikan sebagai perasaan sedih, cemas atau kehilangan gairah hingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Depresi merupakan salah satu gangguan mental dan pada tingkat yang parah, depresi bisa mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Menurut psikolog klinis Kasandra Putranto, masa remaja merupakan masa di mana terjadi banyak perubahan dalam diri individu, mulai dari perubahan secara fisik maupun psikis. Besarnya perubahan ini membuat remaja menjadi populasi yang rentan mengalami masalah kesehatan mental.

“Masa remaja adalah masa yang sangat berat dan rentan akan depresi dikarenakan masa ini adalah fase penuh perubahan, baik anatomis, fisik, emosional, intelegensi serta hubungan sosial,” kata Kasandra kepada VOI.

“Terlebih lagi bagi kebanyakan orang, menjadi mahasiswa adalah periode pertama dalam hidup mereka yang mereka harus jauh dari orang-orang dan lingkungan yang familiar bagi mereka sehingga perubahan tersebut lebih terasa yang membuat hidup terasa lebih berat,” ujar Kasandra lagi.

Kasus bunuh diri semakin banyak terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data Kepolisian RI (Polri) terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari sampai Juli 2023. Angka tersebut naik 36,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021, yaitu sebanyak 486 kasus.

Ilustrasi - Mahasiswi UMY yang bunuh diri dengan melompat dari lantai empat asrama diduga mengalami depresi. (Antara/Ridwan Triatmodjo)

Sayangnya, masalah kesehatan mental di Indonesia seringkali diabaikan. Masih banyak orang yang menganggap kesehatan mental tidak sepenting kesehatan fisik. Mengutip dari data Unicef, 2021 salah satu faktor resiko yang muncul pada remaja di Indonesia yaitu mengenai isu kesehatan mental gangguan kecemasan dan perilaku.

Namun, stigma sosial terkait dengan masalah kesehatan mental seringkali membuat orang enggan mencari bantuan atau berbicara terbuka tentang masalah mereka. Apalagi, orang yang mengaku mengalami masalah mental sering dicap kurang iman dan kurang bersyukur.

Stigma ini dapat membuat seseorang merasa malu, lemah, atau merasa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka jika mereka mengakui memiliki masalah kesehatan mental. Akibatnya, orang mungkin enggan mencari perawatan.

“Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk terus meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, mengurangi stigma, dan memberikan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan mental yang berkualitas,” Kata asandra melanjutkan.

Kesehatan Mental Kaum Muda Memprihatinkan

Menurut studi pada tahun 2022, angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Menurut para pakar, kurangnya data asli telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia.

Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.

Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Yanuar Nugroho mengatakan, kondisi kesehatan mental kaum muda sekarang tergolong memprihatinkan.

Ini jelas bukan fakta yang menyenangkan, mengingat Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada 2045. Jika kesehatan kaum muda tidak dibenahi, bukan tidak mungkin ini menjadi penghalang target Indonesia emas saat merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-100.

Kesehatan mental kaum muda dinilai memprihatinkan dan ini berpotensi mengancam target Indonesia Emas 2045. (Freepik)

“Generasi muda dianggap sebagai masa depan suatu bangsa. Untuk itu, kondisi kesehatan mental generasi muda perlu menjadi perhatian. Dengan kesehatan mental yang baik, individu akan mampu untuk lebih berkomitmen dengan pekerjaannya. Sebaliknya, adanya masalah kesehatan mental akan menimbulkan menurunnya produktivitas individu yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi,” tutur Kasandra.

“Sehingga, usaha preventif untuk menjaga kesehatan mental individu perlu dilakukan. Akan tetapi, tidak hanya pada tingkat individual, instansi kerja juga perlu berperan dalam hal ini. Instansi yang mementingkan kesehatan mental dan memberikan bantuan pada individu yang memiliki masalah kesehatan mental akan memiliki karyawan yang lebih sering hadir sehingga produktivitasnya tinggi,” pungkas psikolog senior ini.

Mengingat besarnya pengaruh kesehatan mental remaja pada kehidupan, termasuk masa depan bangsa, sudah saatnya semua masyarakat peduli dan ambil bagian dengan cara lebih aware terhadap kesehatan mental. Salah satu bantuan yang paling memungkinkan dilakukan ketika seseorang menemukan teman atau kerabat memiliki kecenderungan masalah mental dengan hadir di sisi individu dan memberikan dukungan, baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung (telepon). 

"Tunjukkan bahwa Anda peduli dengannya. Tanyakan kondisi individu tersebut, misalnya, 'Apa yang sedang terjadi pada dirimu?' Atau bisa juga mendengarkan ceritanya secara aktif. Tunjukkan bahwa Anda fokus mendengarkan cerita individu tersebut dan tidak menghakiminya, tidak memotong pembicaraan, dan berusaha memahami sudut pandang individu tersebut," ujar Kasandra menyudahi.