Sensor Pornografi dalam Film Memiliki Perspektif yang Luas
Ilustrasi - Sebuah film dikategorikan pornografi jika sengaja menampilkan eksploitasi seksual, meskipun pada masa kini sering dikaburkan dengan seni sinematografi. (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Meski sudah sering disosialisasikan, namun kategori usia yang diberikan Lembaga Sensor Film (LSF) masih sering diabaikan penonton. Padahal kategori usia dilakukan untuk melindungi penonton.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu fungsi LSF adalah perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia.

Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, terdapat empat kategori penggolongan film dan iklan film berdasarkan penontonnya. Kategori tersebut adalah film kategori untuk semua umur (SU), film untuk penonton usia 13 tahun atau lebih (13+), film untuk penonton usia 17 tahun atau lebih (17+), dan film untuk penonton usia 21 tahun atau lebih (21+).

Adegan Informatif dan Eksploitatif

Adegan ciuman maupun kekerasan seringkali menjadi bagian yang paling disorot dalam sebuah film. Namun, kedua adegan tersebut juga bisa dengan mudah dijumpai pada film dengan kategori SU, 13+, dan 17+.

Pada film Petualangan Sherina 2 yang tayang di bioskop sejak pekan lalu misalnya, di pengujung film terdapat adegan Shadam, yang diperankan oleh Derby Romero, mencium Sherina, yang diperankan oleh Sherina Munaf. Padahal film Petualangan Sherina mendapat label SU dari LSF.

Lain cerita dengan film populer seperti Avengers: Endgame yang masuk kategori 13+ dari LSF. Namun kenyataannya film tersebut banyak ditonton anak-anak di bawah usia 13 tahun. Dalam film yang di antaranya diperankan oleh Robert Downey Jr tersebut menampilkan sejumlah adegan perkelahian.

Lalu, bagaimanakah LSF menetapkan klasifikasi bahwa suatu adegan, misalnya adegan ciuman dan perkelahian, dapat masuk dalam kategori 13+ atau 17+.

Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto memberikan penjelasan, bahwa adegan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, apakah itu adegan yang sifatnya informatif atau eksploitatif.

“Apakah adegan tersebut masuk kategori 13+ atau 17+ dapat kita lihat dari dua hal, yaitu informatif atau eksploitatif,” Kata Rommy kepada VOI.

Suasana konferensi pers "Petualangan Sherina 2" di Jakarta, Senin (25/9/2023). (Antara/Livia Kristianti)

“Kalau hanya cium pipi, ciuman yang sifatnya menunjukkan kasih sayang bisa kita masukan sebagai adegan informatif, sehingga bisa masuk kategori 13+. Tapi kalau ciuman yang bergumul gitu, misalnya, kita masukkan ke 17+ karena sifatnya eksploratif," kata Rommy melanjutkan.

Hal yang sama juga berlaku untuk adegan perkelahian. “Kalau ada adegan yang sampai berdarah-arah, perkelahian yang sadis, itu harus masuk kategori 17+,” ujar Rommy menambahkan.

Aturan terkait pornografi dalam sebuah film diatur dalam Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2019 pasal 12, yang berbunyi: “Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b apabila keseluruhan isi Film dengan sengaja bertujuan untuk menampilkan adegan eksploitasi seksual dengan: (a) visual telanjang, setengah tubuh bagi perempuan atau seluruh tubuh baik bagi perempuan maupun laki-laki yang diperlihatkan dari depan, dari samping, dan/atau dari belakang.”

Rommy menjelaskan, pasal tersebut tidak secara detail menjelaskan adegan apa saja yang masuk dalam kategori pornografi sehingga kerap menimbulkan kontroversi. Apalagi di era sekarang, tak sedikit adegan yang dianggap pornografi “dibalut” dengan sinematografi yang indah sehingga tidak tampak unsur pornografinya.

“Misanya ada adegan fully naked atau telanjang. Adegan seperti itu akan mudah sekali terkena UU Pornografi,” Rommy menjelaskan.

“Tapi ketika sinematografinya keren, pengambilhan gambar yang indah, misalnya hanya menampilkan siluet-siluet itu boleh dan tidak termasuk dalam unsur pornografi, karena yang kita lihat sinematografinya. Jadi, untuk menetapkan apakah adegan ini masuk dalam pornografi atau tidak perspektifnya luas sekali,” ujar Rommy menambahkan panjang lebar.

Sensor untuk Tayangan Over the Top

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informasi Budi Arie Setiadi tengah mengkaji soal potensi memasukkan layanan streaming film seperti Netflix ke dalam ranah penyiaran.

"Kita sedang mengkaji secara serius apakah nanti OTT (over the top, penyedia layanan video internet, red) dimasukkan dalam ranah penyiaran," ujar Budie Arie di Jakarta, pada 10 Agustus lalu.

Salah satu alasan mengapa Kominfo mengkaji soal sensor untuk layanan OTT karena kekhawatiran soal masuknya film-film dengan unsur pornografi secara bebas.

Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto dalam konferensi pers di Century Park Hotel, Jakarta, Kamis (31/8/2023). (Antara/Astrid Faidlatul Habibah)

Tapi menurut Rommy, bukan hanya soal pornografi yang menjadi kekhawatiran dari masifnya layanan film streaming di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

“Dampak jangka panjangnya, ketika film yang ditayangkan mengandung unsur pornografi misalnya, maka negara akan dianggap melegalkan pornografi itu sendiri,” jelas Rommy.

“Ini yang harusnya menjadi catatan negara dan sekarang sedang digodog Kominfo. Harus ada peraturan komprehensif. Perihal OTT ini bukan hanya soal sensor, tapi juga bagaimana negara mendapat pemasukan dari OTT. Sensor hanya sebagian kecil, di dalamnya ada mengenai pajak, legalitas PT, dan lain sebagainya. Harusnya negara concern soal itu,” Rommy menyudahi.