Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Sensor Film (LSF) diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman untuk melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan atau dipertunjukkan hingga penerbitan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). 

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berpengaruh besar terhadap peredaran dan pertunjukan film, dimana film saat ini tidak hanya disaksikan melalui layar bioskop dan televisi, namun

dapat diakses melalui internet, platform digital dan media sosial. 

Sehingga akses terhadap film semakin mudah, tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu. Sehingga masyarakat memiliki potensi mengakses konten perfilman yang tidak sesuai dengan klasifikasi usianya. Dalam upaya ambil bagian dalam kepentingan dan kemajuan penelitian ilmiah yang selaras dengan tugas dan fungsi LSF, maka dilakukan Penelitian Terhadap Persepsi Masyarakat tentang

Perfilman, Penyensoran dan Budaya Sensor Mandiri. 

Penelitian ini dilakukan oleh LSF bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) dan dilaksanakan di bioskop-bioskop pada empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Keempat kota ini dipilih dengan alasan jumlah penonton bioskop terbanyak dan akses tontonan melalui kanal digital lebih tinggi dibanding kota-kota lain di Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa tujuan yaitu: Mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang kriteria penyensoran yang meliputi kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, pornografi, suku, ras,kelompok, dan atau golongan, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, dan usia penonton; Mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang perfilman; Mengetahui secara mendalam tentang budaya sensor mandiri; dan Mengetahui perilaku bermedia masyarakat.

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan yang meliputi beberapa hal yaitu:

1. Akses media tontonan masyarakat dominan melalui jaringan teknologi informatika (JTI) sebesar 89%, Televisi 8% dan Bioskop 1%.

2. Terjadinya perubahan Prilaku Masyarakat dalam mengakses media untuk hiburan di 4 Kota Besar (DKI Jakarta, Medan, Surabaya, Makasar) : 79% Masyarakat mengakses media sosial.

3. Film yang disenangi untuk di tonton yakni Film Nasional sebesar 45%, Film Asing 52% dan tidak tahu 1%. Genre film yang disenangi oleh penonton yakni film horor sebesar 34%, komedi 28%, drama 24%, musikal 3% dan genre lainnya 7%.

4. Sebagai penonton sebesar 72% menyatakan mengetahui tentang penggolongan usia penonton, namun masih terdapat sebesar 25% yang tidak mengetahui tentang penggolongan usia penonton.

5. Sebesar 61% penonton menyatakan perlu adanya perubahan tentang klasifikasi usia penonton di indonesia saat ini. Khususnya pada klasifikasi usia SU dan 17+.

6. Sebesar 41% penonton menyatakan setuju adegan LGBT membuat tidak nyaman sehingga perlu LGBT menjadi bagian dan kriteria penyensoran film.

7. Kampanye Budaya Sensor Mandiri secara efektif dapat membudayakan masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan usianya.

8. Sebagian penonton sebesar 53% menyatakan pernah menonton film yang tidak sesuai klasifikasi usianya namun terdapat 48% penonton menyatakan menonton sesuai usianya.

9. Bentuk pengawasan terhadap tontonan sebesar 40% menyatakan dengan membatasi waktu, 11% melakukan pengecekan langsung, 10% melakukan pembatasan akses dan sebesar 38% menyatakan tidak tahu.

Dalam pemaparannya, Ketua Komisi I LSF RI, Dr. Naswardi menyebutkan bahwa diperlukan penelitian lanjutan untuk menganalisis secara lebih mendalam terkait mayoritas masyarakat yang lebih menggemari film horor dan menjadikan sebagai pilihan utama dalam menonton di bioskop.

“Lembaga Sensor Film juga berkomitmen untuk mengkampanyekan Budaya Sensor Mandiri yang lebih terstruktur dengan melibatkan stakeholder lainnya,” ujar Naswardi.