Bagikan:

JAKARTA - Nama Fero Walandouw sangat lekat dengan sinetron dan film Indonesia. Menjajaki akting sejak tahun 2009 di sinetron Cinta dan Anugrah, pria kelahiran Manado ini sudah mengantongi 17 judul sinetron yang dimainkannya. Selain itu ada 13 judul film yang sudah dimainkannya. 

Dengan pengalaman tersebut, akting Fero tak perlu diragukan lagi. Akting terbarunya dapat dinikmati di sinetron digital, 9 Bulan. Ini adalah terobosan awal sinetron Indonesia tayang di OTT WeTV. 

"Saya melihat inilah masa depan sinetron Indonesia. Penonton muda sinetron Indonesia sekarang tidak cuma nonton gratisan di TV. Tapi mereka mau nonton di OTT dengan subcribe dan berbayar," ujar Fero saat berbincang dengan VOI di kantor WeTV di Jakarta Pusat, 2 Juni. 

Bukan tanpa alasan ketika Fero mengatakan hal tersebut. Sebagai sineas, dia tahu kualitas sinetron 9 Bulan lebih baik dari sinetron di televisi. Proses syuting yang panjang, syuting yang tidak dikejar tayang, dan editing membuat kualitas sinetron ini apik terjaga. 

Fero Walandouw (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sinetron 9 Bulan membuat catatan yang manis di minggu pertama penayangannya. Empat episode yang ditayangkan sejak 27 Mei lalu langsung melambungkan sinetron yang dibintangi Cita Citata, Fero Walandouw, dan Pamela Bowie masuk ke 10 besar series favorit di WeTV. 

Pencapaian ini membuat Fero merasa senang dan antusias. "Minggu ini sinetron 9 Bulan menayangkan episode kelima. Hasil dari penayangan minggu pertama episode 1-4 masuk ke 10 besar, cukup bagus sekali. Nah, kami berharap penayangan sinetron ini bisa mendatangkan penonton baru dan subcriber baru yang memakai akses VIP di WeTV," ujarnya. 

Berbeda dengan televisi yang memiliki rating, penayangan sinetron di OTT tidak bisa diketahui jumlah penontonnya. Namun ada tayangan favorit yang akan muncul di beranda, beradu dengan banyak serial dan film dari dalam dan luar negeri.

Fero pun tak menyangka sinetron yang dibintanginya menjadi favorit di Malaysia. "Nggak nyangka di Malaysia bisa jadi favorit juga. Memang sebenarnya bicara OTT dan TV yang selama ini kita jalani itu cukup berbeda jauh. Kalau di Digital kita bisa nonton kapanpun dan dimanapun," katanya.

Fero Walandouw (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Dalam sinetron 9 Bulan, Fero berperan sebagai Weli. Weli adalah seorang pria lugu dari desa, karena cinta yang bersyarat dia harus ke ibukota untuk mewujudkan cinta yang bersyarat tersebut. 

"Setiap cerita itu punya ketertarikan masing-masing. Pesan yang ingin disampaikan didalam sinetron ini dikemas ringanm, komedi, dan juga dramanya juga dapat," ujar Fero. 

Memerankan tokoh yang lucu, menurut Fero, bukanlah hal yang mudah. "Karena kita membuat orang takut dan kesel itu mudah. Kalau komedi setiap scene dan adegan itu tantangan bagaimana aktornya harus membuat penonton tertawa," katanya. 

Fero Walandouw mengaku antusias menjalankan perannya kali ini. "Dari awal aku bilang ini masa depan industri sinetron baik drama, komedi, religi bisa masuk. Dan orang bisa nonton dimanapun dan kapanpun tidak terbatas waktu. Lagi di jalan pulang nunggu macet, di rumah galau, orang bisa nonton," paparnya. Dengan konsep sinetron digital yang diberikan waktu cukup untuk produksinya, Fero mengaku senang. "Menjadi awal mula sejarah sinetron Indonesia masuk OTT itu aku senang," tegasnya. 

Perbedaan Sinetron Digital

Fero Walandaouw (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sinetron 9 Bulan adalah bukti penonton Indonesia membutuhkan tontonan yang berkualitas. Dengan membayar untuk nonton, menunjukkan ada minta masyarakat Indonesia untuk mencari tontonan berkualitas. Lalu apa yang membedakan sinetron digital dengan sinetron televisi?

"Sebenarnya gini, ada beberapa hal yang harus kita lihat dari industri TV. Karena mereka pasti punya data, punya analisis tersendiri terhadap suatu tayangan yang berhasil," katanya. 

Baginya, berkarir di industri hiburan tidak bisa dinilai secara kaku dengan angka. "Gini, kita di dunia seni kan. Seni tidak bisa dinilai dari 1-10. Seni bisa dinilai dari orang suka sama tidak suka. Keberhasilan kita bisa dilihat dari orang suka, cinta, dan terima sintron atau film kita, banyak yang nonton, dan menjadi bahan omongan di masyarakat," paparnya. 

"Kalau mau dibilang perbedaannya pasti dari prosesnya. Aku pernah mengalami syuting siang, malamnya tayang. Dari situ bisa dilihat namanya kejar tayang. Memang kelemahan sistem kejar tayang adalah kita mau nggak mau harus mau. Kita siap nggak siap harus siap," imbuhnya. 

Inilah yang kadang-kadang menjadi dilema sinetron Indonesia. Tak jarang, warganet mengajukan protes akan cerita dan adegan yang mereka pikir tidak bisa diterima. Bahkan adapula yang melemparkan makian hingga dilaporkan KPI hingga berhenti tayang. 

Fero Walandouw (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sinetron TV biasanya tidak diketahui endingnya. "Ketika sudah mentok, akhirnya sinetron akan tamat ketika orang bosan. Karena tidak ada yang nonton," papar Fero. 

Beda dengan sinetron digital, dengan episode terbatas, dari awal ceritanya sudah ketahuan akhirnya. "Sebagai aktor, sinetron kejar tayang bisa membuat penonton bosan setelah memainkan karakter sama dalam satu kurun waktu. Di sinetron digital tidak. Taruhlah ada 17 episode. Bisa jadi endingnya menggantung, orang bakal kangen untuk mencari lanjutannya mencari tahu peran aktor berikutnya," terangnya. 

Dalam proses syuting, setiap adegan bisa dimaksimalkan. "Kita di lapangan bisa mengemas adegan dengan maksimal. Bisa pakai drone, bisa detail. Inilah yang susah didapat di kejar tayang. Walaupun industri TV ini harus diakui memiliki formula untuk tidak membuat penonton bosan dari menit ke menit. Dan itu harus dipelajari sama OTT karena memang ada beberapa project yang dragging, bikin bosen, skip deh," paparnya. 

Fero Walandouw (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Fero mengaku tak bisa berpaling dari akting. Sempat menjadi host, Fero mengaku kangen kembali dengan akting.

"Akting itu ngangenin. Bisa dibilang adict. Kalau kita nggak akting, kita menrasa butuh mengekspresikan apa yang kita jalani. Aku kan pernah 6 tahun non stop main sinetron terus, akting terus. Walaupun aku masih bermain teknis, tapi aku merasa perlu akting untuk kesehatan psikologis aku," paparnya. 

Puluhan tahun di dunia entertaimen, Fero sudah menjalani semua profesi hiburan. "Akting sudah, host sudah, host adventure sudah, reality sudah. Kalau ada kesempatan ke depan aku pengin menjadi produser film. Mungkin itu nanti," jelasnya. 

Rupanya, Fero Walandouw terinspirasi dari Reza Rahadian tentang karir masa depannya tersebut. "Kemarin sempat sharing sama Reza ketika menjadi sutradara. Itu pekerjaan yang perlu tanggung jawab besar. Makanya mau jadi produser aja," katanya.

"Jujur ya, aku pengin kru semuanya sejahtera. Karena kadang-kadang cost production tinggi, cuma kadang kita harus menilai tim kita adalah aset yang bisa membuat perusahaan bisa berjalan terus. Ketika kita menjaga tim kita, mereka akan menjaga project dengan maksimal. Buat aku sebenarnya itu bukan hal yang besar tapi bisa dilakukan," tegasnya.